43. Gelut

31 4 1
                                    

"Aku loh nggak pernah ngelarang kamu ini itu, merintah kamu ini itu, minta ini itu. Baru kali ini doang! Dan yang aku minta sekarang pun udah wajar aku tanyain."

"Aku capek. Kita lanjut nanti."

"Aku juga capek! Dari Bandung ke sini tuh butuh waktu paling nggak tiga jam. Setiap sabtu minggu aku selalu ke sini, ngeluangin waktu buat kamu daripada quality time bareng keluarga, karena kamu emang se-berharga itu! Kenapa kamu masih aja belum ngasih aku kepastian?"

"Kita udah tunangan, kan? Kepastian kayak gimana lagi yang kamu mau?"

"KITA UDAH TUNANGAN DUA TAHUN LALU! TERUS KAPAN KITA MAU NIKAHNYA?!"

"Itu baru dua tahun! Aku baru merintis karir, aku lulus baru setahun lalu. Aku masih pengin nikmatin hasil dari kerja kerasku. Aku juga belum punya persiapan buat menuju ke arah sana. Kamu kenapa kayak gini, sih? Siapa yang udah desak kamu buat nikah?"

"Aku udah 26 tahun! Tahun ini aku 27 tahun. Semua temen-temen aku udah nikah, cuman aku sendiri yang belum."

"Jangan nikah kalau cuman karena dikejar umur. Dan masalahnya bukan cuman umur aja. Pikirin penghasilan aku, gimana mau nikah kalau tabungan aja baru sedikit?"

"Aku nggak perlu kamu hidupin. Uang aku cukup buat aku, buat kita berdua. Jangan peduliin masalah persiapan nikah. Aku punya tabungan banyak! Nggak ada yang perlu kamu khawatirin."

O-ow. Masalah sensitif. Uang.

Udin yang sibuk di kamar buat nugas, melongokkan kepala saat membuka pintu. Dia jalan ke ruang santai, ikut nimbrung Jihau sama Bima. "Serem. Ini pertama kalinya mereka gelut kan ya."

Udah lama bersama. Hubungan mereka selalu baik-baik aja. Yang satu terlalu manja dan nutupin sifat sadisnya, yang satu terlalu sabar sampai nggak pernah meninggikan suara.

Sampai sebulan lalu Wapis kode soal nikah melulu. Endi sok-sokan nggak tau, dia milih diam mendengarkan, kadang cuman menyahut 'nanti' biar Wapis diam.

"Apa kamu nggak pikirin kodrat aku sebagai cowok? Gimana bisa aku pakai uang kamu buat persiapan nikah? Mau ditaruh di mana harga diri aku?"

Pintu kamar Endi terbuka. Si pemilik keluar dengan rambut awut-awutan, sorot matanya kuyu. Kelihatan banget kalau Endi sengaja nutup pintu kenceng.

Endi langsung ke dapur, mengabaikan tiga manusia di ruang santai. Wapis juga keluar kamar, mata merahnya sembab, wajahnya pucat. Saat dia ngelirik ke ruang santai, hawanya langsung dingin.

Si rival bacotan, si Bima aja langsung merinding.

"Kamu nggak bisa langsung pergi di tengah pembicaraan kayak tadi."

Waduh. Gelut pt.2

"Kita lagi di kost, aku nggak mau debat kayak gini lagi di sini. Apa nggak malu omongan kita didengar mereka? Udahin dulu debatnya. Aku baru pulang kerja, please jangan bikin aku tambah capek."

"Aku cuman mau nikah."

"Kan aku bilang nanti." Endi membuka kulkas, mengambil gelas dan menuangkan air di sana lalu disodorkannya ke Wapis. "Emang pernah aku bilang aku nggak mau nikahin kamu?"

"Tapi kamu nggak pernah bilang kalau mau nikahin aku."

Minumannya nggak kunjung diterima, jadi Endi sendiri yang menyodorkan tepi gelasnya ke bibir Wapis. "Masih perlu aku bilang gitu padahal udah ada cincin di jari manis kamu?"

Wapis menurunkan gelas saat dia rasa udah cukup. "Aku butuh kepastian."

"Kamu mau kepastian kayak gimana lagi?"

"Nikahi aku."

Endi menarik napas. "Aku udah bilang nanti, kan?"

"Aku mau sekarang."

"Gimana bisa kita nikah sekarang? Kamu udah dewasa, harusnya ngerti kalau persiapan nikah itu nggak gampang."

"Makanya ayo kita siapin sekarang dan nikah tahun depan. Aku udah nggak lagi muda!"

"Umur kamu baru 27 tahun, itu masih muda."

"AKU BARU 26 TAHUN!"

Endi mengurut pangkal hidung, pusing. Pengin marah, tapi energinya sudah habis. "Terserah."

"Ayo nikah."

Endi meninggalkan dapur. "Nanti."

"Ayo nikahin aku!"

Endi sampai di ruang santai. "Iya, nanti."

"Nikahin aku atau aku cari yang lain!"

Endi berhenti. Dia berbalik, natap Wapis yang kelimpungan karena nggak sengaja ngomong gitu. "Aku nikahin kamu, tapi nanti."

"Nantinya kapan?!"

Endi lanjut jalan. "Ya nanti."

"AKU HAMIL!"

Udin yang lagi menyeruput es teh milik Bima langsung tersedak, Bima yang lagi ngejreng gitar langsung ngeluarin suara fals, Jihau yang lagi main game melongo sampai ada suara 'you're lose!'.

Endi berbalik lagi. Matanya membesar. "Hah?"

"Aku hamil." Wapis menepuk perutnya yang datar. "Ada anak kamu di sini."

Endi jalan ngedekat. "Hah?"

"Aku hamil. Jadi, ayo nikahin aku!"

"Kamu nggak bisa ngancem kayak gini biar aku nikahin kamu."

Wapis ngotot. "Tapi aku beneran hamil!"

Endi memegang kedua sisi bahu Wapis. "Itu nggak mungkin."

"Kenapa nggak mungkin?! Kamu nuduh aku tidur sama yang lain?!" Keliatan banget Wapis nggak terima. Wajahnya tertekuk, sambil mendongak, dia natap Endi. "Jadi, nikahin aku sekarang."

"Kamu nggak bisa hamil."

"Kamu ngatain aku nggak subur?!"

"Bukan gitu."

"TERUS-"

"Dua tahun lalu aku operasi vasektomi."

Wapis berkedip.

"Kamu lupa?"

Bibir Wapis terbuka. "Hah?"

"Aku udah bilang masalah ini sejak dulu dan kamu iya-iya aja, jadi kamu nggak mungkin hamil."

Ketiga manusia yang dari tadi nyimak melongo.

Wajah Wapis memerah, baru ingat, Wapis langsung ngeluyur masuk kamar. "NGGAK MAU TAU, POKOKNYA CEPET NIKAHIN AKU!"

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang