22. Hari tenang

27 2 0
                                    

Minggu ujian, penghuni kost Arjuna mendadak mulai rajin. Dari yang nggak pernah buka buku, sekarang mau berak pun bawa buku. Dari yang tiap hari genjreng gitar, sekarang udah seminggu penuh nggak pegang alat musik. Dari yang tiap hari ambis cari duit, sekarang mulai fokus buat ngisi otak. Bahkan Jihau, penghuni yang sering dapat nilai jelek aja mulai berkutat dengan buku.

Orang yang paling rajin di antara mereka itu Udin. Dia udah belajar dari minggu sebelumnya. Tugas yang sudah Udin kerjain dari kapan hari ngebuat dia jadi lebih fokus buat belajar.

"Bang, bisa tolong ajarin ini?" Teru deketin Didim yang lagi belajar di sofa.

Didim dongak. "Apa?"

"Mekanik."

"Kalau mekanik tanya ke Anan, gue goblok mekanik."

"Tapi bang Anan nggak ada."

Didim natap sekeliling. "Di kamar nggak ada?"

"Anan belum balik dari ngampus." Bima yang lewat depan mereka menjawab. Duduk di samping Didim, Bima ngebuka buku. "Kenapa nggak tanya Noki aja? Ntuh anak suka itung-itungan."

"Tapi beda jurusan."

"Kalau ada rumusnya, Noki bisa ngerjain." Bima nunjuk ke dapur dengan dagunya. "Orangnya lagi makan. Samperin gih."

"Buset. Lo mau gue mati apa gimana, bang?" Teru meluruskan punggung. "Hal yang paling-paling-paling nggak boleh dilakuin itu ganggu bang Noki pas lagi makan. Ntar yang ada gue kena amuk."

"Kena amuk dikit nggak ngaruh." Bima nyengir.

"Nggak deh. Takut mental gue kena."

"Apaan, nyet?" Mungkin karena ngerasa diomongin, yang punya nama munculin kepala. Dia jalan ke ruang tengah sambil nenteng kaleng bir dan buku.

"Baru juga beres makan, udah minum aja lo bang."

"Ini udah sore, minum dikit doang."

"Ini baru sore, nunggu maleman dikit lah."

"Gue pengin tidur awal ntar." Noki duduk di atas karpet, bersandar di sofa dengan Didim yang duduk di atasnya. "Lagian yang ini rendah alkohol, minum sekaleng nggak bikin gue mabuk."

"Yang namanya alkohol ya tetep alkohol." Didim ngerebut minuman kaleng yang belum sempat Noki buka. Disembunyikannya dibelakang bantal sofa. "Ini masa ujian. Lo besok mulai praktik susulan, kan? Jangan minum mulu."

Noki mendengus, dia natap Teru. "Ngapain lo tadi nyari gue."

"Ajarin mekanik dong, bang."

"Belajar sendiri lah. Udah gede juga." Lain di mulut, lain ditindakan. Noki meluruskan punggung, dia menarik buku yang Teru dekap. "Yang mana?"

Teru sumringah, Didim senyum-senyum, Bima udah ketawa.

Tuman banget. Walau congor Noki selalu bilang enggak, tapi tindakan dia selalu ngelakuin apa yang penghuni mau. Karena ini juga penghuni kost Arjuna nggak ada yang membenci Noki.

Mereka mulai belajar sendiri, hening. TV pun nggak dihidupkan, hanya ada suara ketikan dari komputer yang Andra pakai.

Bahkan saat pintu terbuka, nggak ada satu pun orang yang menoleh.

Randu yang sudah terbiasa, nyelonong masuk kamar setelah melepas sepatu. Dilihatnya Yuci yang asik belajar di bawah dengan landasan karpet.

"Kenapa nggak belajar di meja belajar, sih?" Randu melepas kancing kemeja. "Atau di kasur gitu. Aku jarang bersihin karpet, kamu malah belajar di sana."

"Enakan di sini, adem." Yuci dongak, ngasih cengiran. "Kost sini emangnya suka sepi gini ya kalau masa-masa ujian? Kayak nggak berpenghuni."

"Emang gini, malah udah dari minggu kemarin pas ujian praktik. Sekarang tinggal ujian tertulis, jadi pada santai. Eh, kecuali anak teknik, nggak ada anak teknik yang santai pas ujian. Orang sepinter Andra aja masih ngebut belajar pas ujian gini."

"Ah, gitu." Yuci berdiri, dia duduk di meja belajar. Natap Randu yang lagi pakai kaos sehari-hari. "Aku udah dapet kost, btw."

"Cepet banget?"

"Dibantu sama Bima, temen dia kan banyak."

Randu menghela napas. Dia duduk di kursi depan Yuci, kepalanya mendongak, natap satu-satunya cewek yang suaranya aja suka berkeliaran di pikiran Randu. "Kenapa nggak bilang kalau kamu ambil s.2?"

Yuci tertawa, pelan. "Aku udah nunggu kamu tanya ini dari dua minggu lalu."

"Aku baru berani tanyain ini sekarang."

"Aku udah cuti setahun, urusan keluarga aku udah selesai, aku juga dapet beasiswa, sayang banget kalau nggak aku ambil. Buat orang kayak aku, nggak mungkin kesempatan kayak gini aku lewatin gitu aja."

"Maksud aku, kenapa nggak bilang dari dulu? Kenapa nggak cari aku dari dulu?"

Yuci diam selama beberapa detik, nggak kunjung menjawab. Otaknya memilah mana hal yang harus dikatakan dan mana yang nggak boleh dibeberkan. "Kalau nggak kepepet, aku nggak mau ke sini, Ndu. Aku udah terlalu hopeless makanya aku berani ke sini dan buang harga diri aku."

Randu menunduk, tangannya bermain seuntai benang di celana yang Yuci pakai. "Kalau mau buang harga diri, harusnya kamu lakuin itu dari dulu."

"Gimana bisa aku dateng ke sini seolah nggak ada apa-apa setelah apa yang aku lakuin dulu ke kamu. Apalagi omongan keluarga aku dulu pasti bikin kamu sakit hati banget."

"Hal yang paling bikin aku sakit hati itu kamu yang pergi nggak bilang apa-apa."

"Aku bilang-"

"Tapi cuman pamit di selembar kertas." Randu menyela. "Kita hidup di abad ke-21, pergi dan ninggalin selembar surat itu udah nggak jaman sama sekali. Apa gunanya HPmu? Kamu juga bisa nemuin aku sebentar buat pamit."

"Aku nggak mau ucapin kata perpisahan."

"Karena itu kamu pergi terus dateng ke sini seolah nggak ada yang terjadi?"

Diam. Yuci nggak menyahut, Randu juga tetap setia memantau setiap ekspresi Yuci.

Hari tenang, benar-benar hari tenang. Nggak ada keributan di kost Arjuna. Diluar sibuk belajar, yang di kamar sibuk merendam perasaan.

"Aku masih nggak tau hubungan kita sekarang gimana." Randu berbisik lirih. Tangan yang tadi bermain benang, kini memainkan jari kelingking Yuci. Randu mendongak, menatap Yuci sayu. "Urusan kita masih belum selesai, kan?"

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang