46. Bukan clingy lagi, tapi...

32 4 0
                                    

Masih pagi, jam masih nunjukin angka tujuh, tapi Noki udah bangun dari tidurnya sejak tiga jam yang lalu.

Kok bisa? Dapet hantaman curhat dari Anan karena masalah orang tua Friki yang kelihatan nggak suka sama dia.

Bawa sereal ke kamar buat sarapan. Kayak kebiasaan, Noki nggak pernah nutup pintu kamar. Jadi semua orang yang lewat atau mau ke dapur pasti bisa ngelihat siluet Noki di kamar.

"Noki."

Noki noleh. Mangkuk serealnya yang udah kosong dia taruh di samping meja sementara dia sibuk sama laptopnya. "Apa?"

Siko. Orang yang tadi manggil. Bukannya menjawab, dia malah natap Noki yang hari ini lebih keliatan 'berkharisma'.

Ngadep laptop, pakai kacamata bening, celana jins longgar tanpa atasan, rambut acak-acakan, ditambah ada bau khas kayu yang tercampur sama alkohol di kamar Noki. Menambah kesan yang iya-iya.

"Apaan?"

Siko berdeham. Dia mengangkat keranjang kecil miliknya yang berisi segala alat mandi. "Numpang mandi, dong."

"Kamar mandi di luar kenapa?"

"Yang satu dipakai Teru, yang satunya bau banget. Nggak tau siapa yang berak sampai bisa sebau itu." Siko nyengir. "Gue ada bimbingan jam delapan, gue numpang ya."

Noki mengangguk. "Oke."

Siko masuk, dia jalan ke kamar mandi sambil sesekali ngelirik Noki. "Kamar mandinya kecil, ya?"

"Apa yang lo harapin dari kamar mandi ukuran 1x1 yang isinya cuman shower doang?"

Setelah nutup pintu kamar mandi, samar-samar Siko masih bisa ngelihat siluet Noki yang lagi belajar. "Lo nggak mau keluar?"

Mengernyit sambil natap kamar mandi, Noki bales bertanya. "Ngapain keluar?"

"Pembatas kamar mandinya tipis banget, jadi agak nerawang."

"Terus?"

Siko ikut bingung. "Nggak apa-apa. Jangan ngintip."

Noki mengumpat. "Ngapain ngintip, anjing. Gue juga punya burung gue sendiri."

Shower dihidupin pelan, jadi Siko masih bisa ngajak Noki ngobrol. "Nggak ke sekolah?"

"Nanti. Jam sebelas."

"Sama Anan juga?"

"Tuh galah udah berangkat dari jam enam tadi."

"Pagi banget."

Noki nggak nyahut.

"Katanya di kamar gue ada setannya." Siko ngajak ngobrol lagi selagi sabunan.

"Kata siapa?"

"Teru."

"Jangan didengerin."

"Tapi gue dengar lo pingsan waktu ngelihat setannya." Siko hidupin shower. Jadi dia nggak dengar Noki yang mengumpat.

Pintu kamar mandi terbuka. Sabun wangi jeruk langsung menguar, bercampur sama aroma kamar Noki.

Siko keluar, pakai celana panjang dan kaos tipis, handuk yang dia gunain tadi Siko kalungkan di leher. Jalan ke arah Noki, Siko berdiri bersandar di tepi meja. "Sibuk bener."

"Jadi guru nggak gampang." Nggak tau kenapa, tapi Noki merinding. Ngedongak natap Siko, Noki mengusir. "Pergi lo, anjing. Geli gue."

"Gue cuman duduk."

"Katanya lo ada bimbingan."

"Masih ada waktu buat ngobrol sama lo."

Kening Noki berkerut. Dia berdiri membawa mangkok bekas serealnya, mengambil kaos di lemari lalu keluar kamar sambil memakainya cepat.

Mungkin karena Noki yang terlalu sensitif, dia nggak suka berada di tempat tertutup bareng orang lain yang nggak terlalu dekat.

Saat mau menuju dapur, Teru keluar kamar mandi. "Lama banget lo, anjing."

Teru melongo. "Bang, kita baru ketemu sedetik hari ini tapi lo udah pisuhin gue?"

Noki berbalik, mau misuh lagi, tapi nggak jadi waktu dengar suara langkah kaki dari arah tempat jemuran. Bima dateng. "Abis nyuci?"

"Hn."

"Muka lo kusut bener. Coba tiduran, bang. Biar gue jadiin keset." Dengan nada polos, Teru bisa bikin Bima ngerasa kesel.

Noki ketawa, dia cuci bekas mangkuknya.

"Gue ngerasa nggak aman nyuci di kost akhir-akhir ini." Bima duduk di meja makan, dia nerima waktu Noki ngasih susu kotak. "Takut sempak gue dicuri."

"Tempat jemuran kita kan di dalam, siapa yang mau nyuri?"

"Gue tau." Bima menarik napas. "Gue cuman merasa nggak aman."

Aslinya nggak cuman Bima aja, Noki pun ngerasain hal yang sama. Mungkin nggak cuman mereka berdua aja, seluruh penghuni ngerasain hal yang sama.

"Gue ngerasa aman-aman aja, tuh."

Hm... Kecuali Teru.

Sudah malam. Penghuni kost udah pada balik. Ada yang langsung ngandang di kamar, ada yang milih rebahan di ruang santai. Udin yang biasanya kelekaran di karpet setelah selesai nugas malah duduk di kursi pojokan dengan Didim di depannya.

Kuku jarinya Udin gigit, refleks yang dia lakuin kalau ngerasa ada sesuatu yang nggak beres.

"Tugas lo dapet nilai jelek?"

"Hah?" Udin melongo, dia berkedip sekali baru menjawab pertanyaan Didim. "Kapan gue pernah dapet nilai jelek?"

SOMBONG BANGET.

"Tuh anak gampang banget akrab sama orang." Udin natap Teru yang asik nobar film horror di HP bareng Siko. Teru emang kurus, tapi karena dia lebih tinggi, badannya jadi tameng buat Siko.

Didim nyeruput kopi. "Dari dulu kan gitu."

"Tuh anak nggak peka banget."

"Apa yang lo harepin dari Teru?" Didim malah ketawa.

Bima dateng. Dia duduk di sebelah Teru, tapi langsung ngejauh waktu Siko nggak sengaja nyentuh lengannya. Langsung ngeloyor ke dapur dia, nggak balik, tapi terdengar suara motor yang ngejauh.

Didim ketawa pelan. "Main kabur aja itu anak."

"Kalo gue di posisi dia juga bakalan kabur." Udin mengelus kucing yang dulu dia pungut. "Dia udah ngerasa nggak nyaman. Mau digimanain ya tetap susah."

Andra ngebuka pintu. Dia fokus miringin HP sambil jalan ke ruang santai. "Mabar, yuk."

"Tumben ngajak?"

Andra duduk di bawah sofa dengan Siko di atasnya. "Hinda udah tidur jam segini. Skuy mabar."

"Lo selesaiin dulu itu. Kalau udah, baru kita mabar." Teru noleh ke Didim sama Udin. "Kalian ikut, kan?"

"Oke. Ikut." Belum juga jawab, Teru balik tanya ke Siko. "Lo ikut?"

"Gue nggak bisa main." Siko jawab sambil curi pandangan ke layar HP Andra.

"Ya udah, liat aja ya. Kita mau main di rank, nggak bisa kalau bawa pemula." Teru lanjut nonton.

Siko? Dia malah nonton cara Andra main game sambil glendotan di bahunya.

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang