Lampu apartement unit Sultan sudah tampak remang remang ketika Isyana dan Sultan memasukinya malam itu. Sebelum menuju apartement mereka berdua menyempatkan untuk mengambil pakaian di kost makan manam terlebih dahulu.
"Ooom kok lama banget pulangnya? Mana katanya mau bawa in abang jajan."
Belum sempat Sultan melepaskan sepatunya, mata bulat anak itu berbinar binar dipenuhi oleh antusiasme ketika melihat plastik yang Sultan bawa. Anak itu melompat lompat senang dan melempar begitu saja buku yang tadi dipegangnya.
"Kenapa belum tidur?" tanya Sultan ketika anak itu sudah berdiri di depannya dan dengan senang hati membawakan plastik yang Sultan bawa.
"Kan nunggu Om. Lama banget sih kerjanya. Kalo kerjanya lama, berarti dapet uangnya juga semakin banyak kan Om? Kok bawain jajannya cuma segini sih?"
Sultan mendengus, memang pandai sekali keponakannya ini. Tidak berselang lama seorang wanita keluar dari salah satu kamar, wanita itu menggelengkan kepalanya ketika melihat anaknya yang sudah lesehan dan dengan semangat membuka plastik yang Sultan bawa.
"Nanti sikat gigi lagi ya Abang."
Anak itu memberengut, "kan tadi udah Bunaaa."
"Tapi itu Abang makan lagi, ya harus sikat gigi lagi. Atau engga usah makan aja, jadi engga perlu sikat gigi lagi." Ancam wanita itu.
"Emang Buna engga kasian kalo pasta gigi Om abis? Kasian nanti," wajah anak itu tampak serius.
"Engga usah takut, nanti kalo habis Om tinggal beli lagi." memang keponakannya pikir dirinya tidak punya uang untuk membeli odol apa.
"Ehh ada tamu, Abang udah salim sama kakaknya belum?" tanya wanita itu saat menyadari ternyata ada seseorang di belakang Sultan.
Anak itu menggeleng, lalu berlari ke arah Isyana, mencium tangan wanita itu. Mereka duduk di ruang tamu setelah saling berkenalan. Isyana begitu canggung berhadapan langsung dengan kakak serta keponakan Sultan.
Ia sempat menyesali keputusannya untuk tinggal di apartement pria itu, harusnya dirinya tidak mengiyakan usul pria itu. Namun nasi sudah menjadi bubur.
Karena sudah hampir tengah malam kakak Sultan yang bernama Shima dan putranya Daru sudah terlelap. Sedangkan Isyana sendiri saat ini duduk di ranjang sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. Wanita itu baru saja mandi dan bersiap tidur.
"Isyana?"
Terdengar Sultan yang memanggil namanya, tapi pria itu tidak mengetuk pintu kamar. Mungkin takut jika Isyana sudah tidur, dan menggganggu tidur wanita itu. Wanita itu pun bangkit, dan membuka pintu kamar yang malam ini ditempatinya.
"Dalem, kenapa Mas?"
"Belum ngantuk?" tanya Sultan saat Isyana telah membukakan pintu.
Wanita itu menggeleng, mereka berdua masih berada di depan pintu kamar Isyana. Wajah Sultan tampak cerah malam ini, bahkan pria itu banyak tersenyum setelah menjemput Isyana dari tempat kerjanya.
Mungkin pria itu tidak dapat menahan rasa bahagianya karena akhirnya Isyana memberikan jawaban yang selama ini pria itu tunggu tunggu. Bahkan wanita itu juga bersedia untuk menginap di tempatnya malam ini.
"Mau susu? Biasanya itu bisa bantu saya biar bisa tidur."
"Boleh, tapi aku udah sikat gigi." Isyana menghembuskan napas, agak malas jika harus sikat gigi lagi.
"Kan tinggal sikat gigi lagi. Jangan jangan kamu sama kayak Daru, malas sikat gigi sebelum tidur ya?"
Mereka tertawa mengingat kelakuan lucu Daru, anak empat tahun yang sebentar lagi akan memiliki adik itu. Akhirnya mereka berdua menikmati susu hangat dan berbincang di pantry.
"Kamu udah baca file yang saya kirimkan?" Sultan mengingatkan mengenai file yang berisi data diri mengenai dirinya.
"Udah."
"Kenapa kamu terima saya meskipun kamu tahu gimana kondisi keluarga saya? Kamu engga takut kalo saya nanti seperti ayah saya?" wajah Sultan tampak serius, menatap Isyana yang duduk di depannya.
"Emang Mas mau seperti ayah Mas?"
Sultan menggeleng mantap, tentu dirinya tidak akan seperti ayahnya. Selama ini dirinya menyaksikan bagaimana ibunya bersedih atau pun menangis di kala sholat malam hari. Dirinya juga merasakan bagaimana memiliki ayah yang hanya bisa menemaninya dua hari dalam satu minggu. Belum lagi ketika beranjak dewasa pria itu merasakan persaingan dan perebutan harta warisan di antara anak anak ayahnya.
Hanya dengan Shima, anak bungsu dari istri kedua ayahnya dirinya akrab. Oleh karena itu beberapa hari ini kakaknya itu tinggal dia apartementnya karena suaminya sedang ke luar kota. Suaminya khawatir meninggalkan istri dan anaknya sendiri ketika Shima sedang hamil besar.
"Mas sendiri kenapa milih aku buat diajak menjalin hubungan?"
"Karena kita nyambung, saya senang ngobrol sama kamu. Selalu ada topik yang terkini dan engga cuma basa basi aja."
"Berita kali Mas, 'topik terkini'" dengus Isyana, mungkin di dalam lubuk hatinya yang paling dalam mengharapkan jawaban yang lebih romantis dan menyentuh.
Sultan terkekeh, "menurut saya pasangan yang nyambung itu sangat penting. Selain akan lebih mudah ketika berkomunikasi dan berdiskusi, dalam menikah bukan cuma seks atau pun gairah yang terpenting. Namun komunikasi, bayangkan kalo kita udah sama sama tua, pinggang udah sakit encok. Apa kita berhubungan badan melulu? Tidak kan? Rasanya di masa tua kelak saya cuma ingin bercengkrama dan bernostalgia sembari lihat cucu syukur syukur cicit kita."
Isyana mengangguk setuju, tentu dalam memilih pasangan bukan cuma rupa yang nomor satu tapi juga isi otak. Mungkin orang akan berkata, halah munafik engga mandang rupa. Tapi yang pertama kali kita lihat adalah fisik atau rupa, karena itu lah yang terlihat pada saat pertama kali bertemu. Tidak mungkin dong kita mengetahui isi otaknya saat baru bertemu, butuh waktu untuk mengetahui isi otak dan sifat sifatnya.
"Selain itu?" rasanya Isyana belum puas dengan jawaban Sultan.
"Kamu pekerja keras. Pertama kali saya lihat kamu waktu penerimaan anggota ukm, kebetulan waktu itu kamu jadi pemimpin group, saya suka ekspresi kamu waktu mikir jalan keluar dari masalah. Kelihatan serius, cak cek gitu. Kamu juga engga manja, saya suka perempuan yang engga terlalu manja."
Dari Isyana berkerut, kurang setuju dengan kalimat Sultan yang terakhir.
"Hmm, ada kalanya aku manja kok Mas. Biasanya kalau udah kenal dan nyaman dengan lingkungan atau orang itu. Lagi pula biasanya perempuan itu pasti ada sifat manjanya, cuma beda takarannya aja."
"Iya engga masalah kalo manjanya sama saya."
Isyana menggigit bibirnya, berdoa agar wajah bersemunya tidak Sultan sadari. Entah sudah berapa kali pria itu membuat wajah Isyana bersemu malu. Kata kata yang keluar dari mulut Sultan memang berbahaya, sering membuat jantungnya dag dig dug.
"Terus rencana ke depannya mau gimana?"
"Ketemu sama orang tua, saya ketemu orang tua kamu. Kamu ketemu orang tua saya. Atau saya langsung bawa keluarga saya ke rumah kamu? Biar sekalian." pikir Sultan agar cepat.
"Mana bisa gitu, yang ada nanti orang tua aku jantungan Mas."
"Hush." tegur Sultan.
Isyana baru tersadar kata kata kurang baik yang baru saja keluar dari mulutnya. Wanita itu mengatupkan bibirnya lalu menepuk nepuknya dengan tangan. Jangan sampai orang tuanya kenapa napa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETTER THAN WORDS (END)
RomanceMari berkenalan dengan Mas mas Jawa, tinggi 180, dewasa, sopan, wangi, manis, pinter, royal, sabar, penyayang, kalo dipanggil jawabnya "dalem sayang" atau "dalem dek" Namanya Sultan Candra Wardhana, Mas mas yang bikin meleleh pas pake kemeja batik d...