25

16.6K 1K 12
                                    

Yukkk vote dan ramaikan kolom komentar 🥺

Kalian baca part ini mungkin cuma beberapa menit, tapi aku nulisnya bisa berjam jam😭

Aku sangat amat berterimakasih atas semua vote dan coment kalian di part sebelumnya ❤

Sayang kalian banyak banyak ❤





Akhir akhir ini Sultan baru mengetahui jika suami dari Neena akan mencalonkan diri menjadi walikota.  Keluarga besar mereka pun terkejut mendengar berita mengenai kematian ibu dari Neena, istri pertama ayahnya.

Saat ini Sultan dan Isyana dengan berada di kereta menuju rumah duka yang berada di Jawa Tengah. Mereka terlebih dahulu mampir di rumah ibunya untuk meletakkan barang barang dan berganti pakaian terlebih dahulu.

"Ibu udah berangkat?" tanya Sultan pada asisten rumah tangga ibunya.

"Udah Mas, semalam langsung ke sana. Belum pulang juga dari kemarin."

"Ya udah, saya dan istri saya berangkat ya Bu." Sultan pamit pada asisten rumah tangga ibunya itu.

Sultan dan Isyana menuju rumah duka dengan mobil milik ibunya. Di sepanjang jalan menuju rumah duka terdapat karangan bunga di sisi kanan dan kirinya. Almarhumah memang bukanlah orang biasa, ia wanita sosialita yang sering mengikuti banyak kegiatan dan memiliki relasi yang luas.

Ketika tiba, Sultan melihat ibunya berada di belakang. Ibunya itu mengenakan kerudung hitam dan menundukkan kepalanya. Sultan tidak yakin Ibunya semalam sempat istirahat. Sultan menggandeng Isyana untuk berjalan menuju tempat ibunya terlebih dahulu.

"Ketemu Ibu dulu ya," ajak Sultan berbisik di dekat telinga istrinya.

Isyana mengangguk. Mereka berdua menyapa dan menyalami ibunya terlebih dahulu. Sultan tidak menemukan keberadaan Neena di sini, hanya ada ayah dan suami Neena. Sultan dan Isyana menghampiri ayahnya. Pria itu tampak lemas dan sendu.

Hanya merespon Sultan seperlunya, lalu kembali menatap jenazah istri pertamanya yang sudah terbaring kaku. Rahang Sultan mengeras saat menyadari tatapan tatapan orang yang datang pada ibunya.

"Mas aku ke tempat Ibu dulu. Mas di sini aja." Isyana beranjak kembali menuju tempat mertuanya yang duduk di pojok dan menunduk. Membiarkan Sultan agar berada di dekat ayahnya.

"Ibu mau minum atau makan dulu?" tanya Isyana perhatian ketika menyadari wajah pucat dan lemas mertuanya.

"Engga usah. Sebentar lagi udah mau dimakamkan jenazahnya. Nanti aja makannya."

Padahal jenazah masih akan dimakamkan satu jam lagi. Tidak ingin memaksa, Isyana pun menurut. Tidak sengaja matanya menangkap pipi merah dan lebam milik mertuanya. Juga terdapat luka memanjang namun tidak terlalu dalam.

"Ibu engga papa," ujar ibu mertuanya menenangkan menantunya, wanita paruh baya itu tau jika Isyana khawatir dengan luka di pipinya.

Sepertinya Sultan tadi tidak menyadari luka di pipi ibunya itu. Setelah jenazah dimakamkan Isyana izin untuk kembali ke rumah bersama dengan mertuanya tanpa Sultan. Karena pria itu masih tetap berada di rumah utama menemani ayahnya. Sebenarnya sejak tadi hati Isyana nyeri menyadari bangaimana orang orang menatap mertuanya.

Tatapan menuduh, menghakimi, dan jijik mereka layangkan pada mertuanya itu. Terutama mereka yang mengetahui jika ibu mertuanya adalah istri ketiga. Sedangkan banyak orang yang tahu jika Sultan adalah adik kandung Neena bukan adik tiri beda ibu. Hal ini dikarenakan sejak awal ayahnya selalu memperkenalkan Sultan dengan putra satu satunya dan si bungsu dikeluarganya.

Sesampainya di rumah ibu mertuanya, Isyana langsung meminta bantuan asisten rumah tangga untuk membantunya menyiapkan makan untuk ibu. Sedangkan Isyana mengambil es batu untuk mengompres memar dan bengkak pada pipi Ibu.

Sampai dengan matahari tenggelam, Sultan belum juga kembali ke rumah. Sedangkan Ibu sejak beristirahat di kamar setelah Isyana memaksanya, wanita itu semakin terlihat pucat. Ia khawatir jika ibu mertuanya akan jatuh sakit.

o0o

Sultan melihat istrinya yang tengah meringkuk di sisi kiri ranjang di kamarnya. Pria itu melitik jam dinding, dan mendesah saat menyadari sudah tengah malam. Pria itu menyempatkan diri untuk mandi sebelum bergabung dengan istrinya. Hari ini merupakan hari yang begitu melelahkan. Keributan dan suasana yang memanas di rumah Ayahnya membuat pria itu muak.

Di saat seharusnya keluarga mereka sedang berduka karena kematian dan kehilangan anggota keluarga, nyatanya manusia manusia itu malah meributkan harta. Neena murka ketika melihat keberadaan Sultan di pemakaman mamanya. Wanita itu meraung dan mengumpat menyalahkan kehadiran Ibu dan dirinya ditengah tengah keluarga Neena.

Istri kedua ayahnya tidak terlihat keberadaannya, begitu juga dengan Shima. Shima hanya hadir semalam ketika mendapat berita kematian, tapi setelah Neena menampar dan mengusirnya, Shima pulang dengan suaminya.

Ibu Shima, istri kedua dari ayahnya pun memilih untuk tidak muncul di pemakaman. Sepertinya wanita itu tidak peduli dengan kematian istri pertama yang sangat membenci dirinya dan anaknya. Namun Ibunya sejak semalam memilih untuk tetap tinggal, meskipun telah diusir dan di caci maki Neena.

"Mas?" panggil Isyana dengan suara yang sedikit serak ketika Sultan telah bergabung dan menelusupkan satu lengannya untuk merengkuh istrinya.

"Hmm," Sultan hanya menjawab dengan gumaman dan mencuri satu ciuman di pipi istrinya.

Isyana memilih untuk berbalik menghadap suaminya, lalu memeluk Sultan dan membenamkan wajahnya di dada suaminya.

"Mas udah makan? Kalo laper aku siapin makan." Isyana ingat jika masih ada sisa makanan di dapur Ibu.

"Engga usah. Ibu tadi gimana?"

Isyana mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah suaminya. Wanita itu menarik napas, bersiap menyampaikan berita yang mungkin akan membuat suaminya itu sedih.

"Ibu tadi pucet, kayaknya memang lagi kurang sehat. Sejak semalam ternyata engga istirahat, Ibu nungguin di rumah utama terus. Sesampainya di rumah tadi Ibu langsung makan terus istirahat. Ibu engga banyak ngomong sih tadi."

"Ibu makan malam?"

"Awalnya nolak, tapi aku anterin makanan ke kamarnya tadi. Alhamdulillah habis. Ibu tadi bilang sedikit pusing sama kakinya agak pegal pegal."

"Obat darah tingginya udah diminum tadi?"

Isyana memang tahu jika Ibu memiliki tekanan daah yang tinggi, dan akhir akhir ini harus rutin minum obat dan mengechek tekanan darahnya.

"Udah," Isyana mengigit biirnya, ragu untuk mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuat Sultan sedih dan juga marah. "Mas, tadi pipi Ibu memar dan bengkak. Kayaknya habis ditampar, tapi Ibu engga cerita siapa yang nampar."

Rahang Sultan seketika mengeras, tubuh pria itu menegang mendengar berita yang Isyana sampaikan. Sultan tidak menyangka Ibunya ternyata juga Neena tampar, bukan hanya Shima saja. Sultan tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya semalam. Bagaimana Shima dan Ibunya bisa ditampar, Sultan merasa bersalah karena tidak ada di sana dan melindungi kedua wanita yang penting baginya itu.

Shima mungkin sudah ada suaminya yang menenangkannya. Tapi bagaimana Ibunya, yang hingga pagi tetap bertahan ditempat itu, ayahnya mungkin tidak dapat mencegah perlakuan kasar Neena pada istri ketiga dan Shima. Sultan lihat Ayahnya begitu terpukul karena kehilangan istri pertamanya.

Isyana merangkum wajah Sultan, lalu mengelus kepala suaminya itu. Wajah keruh dan keras itu membuat Isyana tahu jika suaminya sedang tidak baik baik saja. Apa yang terjadi di keluarga pria itu memang begitu kompleks dan ribet. Sultan mungkin lelah dengan apa yang terjadi di keluarganya.

Isyana menyesajarkan tubuhnya dengan Sultan, lalu memeluk leher pria itu. Sultan membalas pelukan itu, dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher istrinya. Mungkin ini yang dibutuhkan saat ini, pelukan hangat istrinya.






BETTER THAN WORDS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang