52 : Mah?

46 8 2
                                    

Juan terus memandangi wajah sang sahabat — Pancagrama Aditya dengan tatapan penuh kecewa dari kaca spion aerox hitamnya.

Sementara Gama, yang terpaksa duduk ditengah hanya menutupi kepalanya dengan kupluk hoodie berwarna hitam yang tergantung di lehernya.

Jemarinya berputar - putar memegang erat botol parfume di dalam saku hoodienya.

"Apaan tuh di kantong lo?" Tanya Jevan, penasaran. Sebab daritadi Gama tidak berhenti memutar - mutar botol parfume didalam sakunya.

"Parfum, kado dari Nakala." Jawabnya, tenang.

"Elah, pengen gue buang aja rasanya." Cibir Jevan.

Gama menundukkan erah pandangnya, ia menatap genangan air yang mereka lintasi seiring motor yang dikemudikan Juan melaju. "Gue tau dia berusaha keras banget buat beliin gue ini parfume."

Jevan terkekeh. Seraya telapak tangannya menepuk keras topi hijau yang dikenakan Juanda. "Liat kan? Apa gua bilang, ini anak beneran kebutaan cinta." Ketusnya.

Juan kembali melirik wajah sang teman dari kaca spion. "Is you really love her, Gam?"

"Not really, such a lot." Jawabnya.

"Lo tuh kapan sadarnya sih anjing! Nyokap lo ngamuk - ngamuk seharian, nyariin lo. Anaknya di hari ulangtahunnya malah gak pulang, lo berdua tuh mau dinikahin tau gak?!" Bentak Jevan.

Gama tertawa, "Iya, kan gara - gara lo, lo yang ngadu ke nyokap gue."

"Gue ngadu biar lo sadar!" Balas Jevan. "Gue gamau temen gue makin rusak gara - gara cewek!"

"Gue gak ngerasa rusak,"

"Kan gue yang nilai."

Mendengar perdebatan keduanya, Juanda menghela nafas. "Shttt ah, gak usah kecot dijalan. Berisik. Udah mau sampe, gak usah kayak bocah lo pada."

Situasi, mendadak hening seketika.

Aerox hitam itu mendarat lebih dulu dirumah sang tokoh utama, Juan bilang ia harus mengantar Gama lebih dulu dan paling pertama.

Pemuda dengan hoodie hitam yang melekat pada tubuhnya itu turun dari motor, kemudian mendapati sang ibunda sudah terduduk di kursi depan dengan wajah benar - benar kesal. Disusul dengan bunyi mesin motor sang kawan yang sudah berlalu meninggalkan pelataran rumah keluarga itu.

Belum melontar sepatah kata pun, tamparan sempurna mendarat diatas pipinya. Dengan penuh kemarahan yang membara, sang ibunda menarik ransel hitam di atas meja. "Pergi!"

"Mah?" Kaget, pemuda itu melotot. Mendapati baju - bajunya sudah di pack rapih didalam tas.

"Mama bilang pergi!" Jeritnya. "Mau pake cara apalagi kamu nyakitin mamah, Gam?"

Pemuda itu terdiam. Pandangannya membeku menatap garis - garis di ubin.

"Kurang ajar sekali kamu Gama, hari ulangtahun bukannya merayakan sama keluarga malah nginep di kosan cewek! Gak ngasih kabar sama sekali, kamu ini masih punya keluarga, gak kayak cewek mu itu!" Sang ibunda mengusap wajahnya kasar.

"Gimana mau kasih kabar sih? Orang hape Gama mati mah!"

Enggan mendengar, wanita yang dipanggil "Mamah" itu menarik kembali tas yang telah ia hempas. "Alasan!" Ketusnya. "Sekarang pergi, minta makan sama cewekmu, minta sekolahin sama cewekmu! Mamah gamau liat kamu lagi dirumah ini."

"Apaansih mah?"

"Mamah bilang pergi! Atau kalo perlu ikut sama papah kandungmu aja sana, gak usah munculin wajahmu dirumah ini lagi."

Suara pintu terbanting terdengar menggelegar kemudian, pemuda itu hanya terdiam, menatap pintu masuk rumahnya yang dikunci dari dalam dengan penuh penyesalan.

Tanpa sadar setetes air mata membasahi pipinya, membuat dirinya buru - buru mengusap ujung pelipisnya dengan bagian lengan hoodie yang ia kenakan.

Adzan maghrib berkumandang kemudian, menusuk telinganya dengan sedikit kesadaran, bahwa mencintai memang bukanlah hal yang salah, namun kesalahan terbesarnya, terletak dari bagaimana cara mereka berdua membangun cinta.

Pemuda itu menyenderkan tubuhnya pada dinding garasi, menatap pelan layar ponselnya yang sudah mati tak berkedip, sesekali ia tekan - tekan berharap ada keajaiban.

"Mah, Gama bakal pergi dari rumah ini, tapi izinin Gama charge handphone dulu ya?" Ujarnya, penuh permohonan. "Gama mau pergi kemana, kalau handphone nya mati?"

Dari balik pintu, wanita itu tidak berhenti mengusap air matanya yang juga mengucur deras. Rasa - rasanya, ia telah salah mendidik darah dagingnya sendiri.

Negeri SebelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang