play a songs on the tab and change theme to black, happy reading & happy valentine all!Zidanne Al Hakim, rambut panjang berwarna hitam tinta dengan semerbak shampoo mint. Serta seragam putih bersihnya yang selalu rapih, tanpa noda, tanpa kusut.
Pemuda yang hidupnya hampir seratus persen sempurna, tidak pernah terlambat, tidak pernah meninggalkan satupun tugas sekolahnya, tidak pernah lari dari jam pulang yang di perintahkan keluarganya.
Pemuda itu adalah penurut yang handal. Sampai muncul suatu ketidak nyamanan dihatinya, namun tidak besar tekadnya untuk memberontak, jadi. Hidup lurus adalah pilihan satu - satunya, alias tidak ada opsi lain dalam orbit hidupnya.
Pemuda itu menarik buku tulis dengan sampul cokelat yang tergeletak di atas nakasnya, sepatak langkahnya berlari kecil menuju meja paling depan. "Gue duduk sini ya? Geseran."
Sementara pada pojok kelas, gadis dengan roll rambut di poni rambutnya itu mengerutkan dahinya. "Zidan minus?" Tanya gadis itu pada pemuda disebelahnya.
Raka Prabuming menggeleng, seraya bibirnya mendelisih. "Shhh, enggak deh kayaknya?"
"Terus ngapain dia didepan?"
Raka mengangkat kedua bahunya, namun jawaban tidak tahunya berganti seruan heboh ketika netranya merekam sosok gadis bernama Reandra, yang duduk tepat dibelakang Zidanne. "Rere!"
"Berisik kontol!" Cibir Nakala, telapak tangannya buru - buru membekap lisan pemuda Prabuming itu.
Sementara gadis bersajak Reandra Refa alias Rere itu mengedarkan pandangnya, menatap kedua sejoli yang sedang baku hantam di pojok denah kelas.
Dahi gadis itu mengkerut, berfikir bahwa dua orang dibelakang itu benar - benar sakit jiwa. Sementara Nakala tidak berhenti memukul Raka dengan telapak tangannya.
"Eh udah apa yak bocah ribut mulu!" Lerai Felix, seraya jemarinya menurunkan pelan topi hoodie hitamnya, semerbak gudang garam tercium dari balutannya. "Tugas apaan Rak?"
Raka menghela nafasnya panjang, seraya pemuda itu terengah - engah, lelah. Nakala bukanlah lawan yang mudah kalau urusan bertengkar, meskipun Raka laki - laki kekar, gadis itu mahir membuat memar.
"Hufth, Bahasa Indonesia, di suruh nyatet" Ujar pemuda Prabuming itu.
"Lo ngapain duduk di tempat gua?" Pertanyaan dari Felix sukses membuat Raka mengangkat bokongnya dari kursi kayu itu. Pemuda itu tersinggung. "Lo ngapain Kal?"
Nakala tersenyum, gadis itu menunjuk tempat duduknya yang di buat rumah - rumahan oleh Haidar, sekaligus pemuda itu tertidur disana seolah - olah kursi tersebut adalah singgasana-nya. "Lo abis darimana, Lix?"
"Merdeka."
"Lagi?!"
"Ya emang kalo cabut ke Merdeka."
Gadis itu menepuk pelan bahu bidang Felix yang kini terduduk di sampingnya. "Aih, kayak tempat cabut cuma di Merdeka aja, orang Warjok deket, tinggal ngesot."
"Gak mau"
"Kenapa?"
Felix menghela nafasnya, membuat suara "Huh" tercipta dari mulutnya. "Ya gak mau aja." Padahal jawaban satu - satunya, karena daya saingnya alias Gama Aditya adalah penunggu sejati warung pojok. Realitasi Felix hanya sebatas bahwa ia, tidak pernah terlihat sebagaimana gadis itu melihat Gama. Netranya hanya bersinar tatkala pemuda itu berlalu.
Di antologi bumi yang sama, sedikit ingin mengenai gadis Reandra itu juga terharap dari batin Zidanne. Satu kelompok, sudah. Membantu Rere mengerjakan tugas kelompok, juga sudah. Namun netra gadis pendiam itu tidak pernah mendelisik miliknya, seolah - olah dirinya dikuasai sunyi dan bisu.
Zidanne sudah mencoba berbagai cara untuk menarik afeksi sang gadis, "Re, bantuin gue dong ngerjain ini lo ngerti gak?" Atau, "Re, lo tugas ini udah belum?" Rere, Rere, dan Rere, setiap pagi, setiap hari adalah Rere.
Pemuda itu bahkan enggan mengangkat langkahnya dari lantai kelas ketika jam istirahat, hanya demi melihat Rere tertawa penuh bahagia saat itu, membentuk lingkaran dengan teman - teman perempuannya, lalu bersendagurau sembari melahap gurih makan siangnya.
Kebahagiaan yang tak pernah bisa Zidanne utarakan itu, melahapnya dengan kehampaan. Dan pada akhirnya, di buku takdir itu, Zidanne lagi - lagi hanya menjadi figuran pada novel klise kehidupan Reandra Refa.
Zidanne merasa bahwa hidupnya sudah ia jalani dengan baik, ia melalui hari - harinya menuju dewasa sebagai penurut handal, namun mengapa tuhan masih enggan menjadikannya pemeran utama pada segala novel yang tuhan tuliskan?
"Syam!" Yang di ajak berkoneksi hanya merenungkan dirinya, menatap jendela kelas bersama dengan separuh raganya yang di renggut semesta. "Syammiiiiii!" Panggilan kedua, membuat pandang pemuda itu tertoleh, menatap gadis ber surai legam dengan bando ungu di pucuk kepalanya.
"Oi? Apa?" Syammi menyahuti panggilan sang ketua kelas, membuat angan - angan yang tadi ia bangun bersama burung - burung jadi terbang dan sekejap hilang.
"Nanti kalo Gama dateng suruh dia absen ya, gue mau ke UKS. Perut gue sakit banget" Gadis itu meletakkan sebuah map berwarna oranye tepat dihadapan Syammi. "Kalo Gama belum dateng juga tapi jam selanjutnya udah mulai, alfa-in aja."
Syammi baru ingat dirinya adalah siswa yang tidak pernah membolos meskipun sering mabal, maka dari itu biasanya pemuda Aditya itu selalu menitip kabar padanya. "Syam gue bolos, tolong isiin aja gue masuk." Atau, "Syam gue di warjok, bilang aja gue di toilet." Hal - hal seperti itu yang menjadikan kehadiran Gama menjadi tanggung jawab Syammi juga. Namun hari ini, tidak ada kabar dari Gama Aditya.
Pemuda itu menekan tombol telefon pada layar gawai nya, namun keterangan 'Gama is calling' menjadi jawaban yang tidak memuaskan sebagai pertanda bahwa ponsel pemuda Aditya itu tidak dalam jangkauan.
Pemuda itu menghela nafasnya, ia hendak menghampiri Jevan di kelasnya, namun sudah jelas - jelas Jevan tidak akan memberi jawaban apapun, pemuda itu juga ingin bertanya pada Nakala, namun mengingat perbincangannya dengan Gama kemarin, menjadi keputusan yang lagi - lagi harus ia pertimbangkan.
Pemuda itu teringat, sore kemarin, manik teduh milik pemuda perkasa itu tiba - tiba berkaca. Berbentuk seperti kristal pecah. Dengan intonasinya yang merendah, seperti ada rekah diantara rintihnya.
"Lo mau make doang maksudnya? Lo selama ini?" Ucapan Syammi patah - patah, pemuda itu tidak memiliki kapasitas otak yang cukup baik untuk menampung jawaban yang sebegini menyakitkan. Bagaimanapun, Nakala Bumi adalah gadis yang cukup baik yang ia kenal.
"Gue sayang, Mi." Lirihnya. "Tapi gak akan mungkin gue sayang kalo gue terus - terusan ngerusak dia dan manfaatin badannya." Lanjutnya, "Gue pernah mikir kalo gue beneran sayang sama Nakala, harusnya gue gak ngerusak dia, tapi kalo selama ini hubungan gue sama dia begini terus, ini bukan sayang Mi, ini cuma nafsu. Nafsu gue semata."
Syammi mengusap wajahnya. "Ya lo harusnya kontrol nafsu lo dong Gam!"
"Gimana ya Mi?" Pemuda itu menghembuskan asap dari hidungnya. "Gue tau apa yang gue lakuin salah, tapi cuma dengan ini gue bisa bikin dia sama gue terus. Gue udah make dia, udah ngerusak dia, jadi dia pasti berharap gue sama dia terus. Harapan itu yang bikin gue seneng Mi."
"Kalo lo sayang, lo harusnya gak ngancurin dia pelan - pelan, Gam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Sebelas
Fanfic[ Wattpad AU ] Sekolah Menengah Akhir adalah karsa sederhana, tapi tidak untuk siswa - siswi Negeri Sebelas. tw! harsh words, parent issues, child trauma. highest rank #1 at sanha #1 at ryujin #3 at alternativeuniverse © 2022, nawendra