10 : Titik temu

196 27 6
                                    
















play a songs on the tab and change theme to black.











Zidanne adalah pemuda yang paling jarang bertaruh suara, baginya hidup adalah benteng tebal yang tidak bisa menjadi hal bebas untuk di bagikan. Ia punya batas akan setiap cerita yang ia bagi, ia juga punya batas akan segala pergaulan dan pencapaian hidupnya. Ia me-manage dirinya sendiri dan hidup realistis sebagai anak laki - laki terakhir di keluarganya. Namun, bukan berarti hidupnya adalah novel sempurna.

Setiap bab kehidupan yang ia tulis pasti pernah memiliki cacat didalamnya, entah satu halaman yang lupa huruf kapital, atau lupa ia lampirkan tanda baca pada setiap paragraf hidupnya. Ia juga bukan tuhan, tangannya tidak se-sempurna itu untuk menciptakan takdir yang ia mau. Benturan demi benturan yang membentuknya, menghasilkan keinginan untuk berhasil.

Satu kondisi yang selalu ia gugat dan keluhkan, adalah mengapa kebebasan menjadi hal yang begitu sulit ia dapatkan? Meski ia bilang hidupnya baik - baik saja dan mampu di nobatkan sebagai hidup terbaik dari anak - anak lain, tentu ada rasa ingin dari dalam lubuk hatinya.

Ingin hidup sebagai anak laki - laki lain yang bebas bermain, berlari kesana - kesini, mencari arti hidup dan filosofi bahagia, ia juga ingin lari dan pergi dari zona nyaman. Ia juga ingin sekali - kali hidup dibawah angan dan andai - andai, melepas segala realitas yang ia pikul.

Namun, ada satu beban yang menghantui hidupnya. Beban untuk menjadi seperti kakaknya, beban untuk memenuhi ekspektasi orangtuanya, beban untuk menjadi apa yang seperti orangtuanya mau. Satu hal yang membebani dirinya, adalah kurangnya rasa percaya dirinya.

Ia, terlalu sering menjadi pendengar daripada didengarkan. Seolah - olah eksistensinya hanya sekedar dibelakang panggung manusia - manusia yang tengah menjalani novel hidupnya. Seolah - olah tidak ada yang tertarik dengan ceritanya.

Pemuda itu terus menerus menatap dari kejauhan, memandangi punggung seorang gadis yang duduk di bangku depan, dengan kacamata oval yang selalu gadis itu gunakan.

"Dia demen?" Tanya gadis berambut pendek itu pada pemuda yang tengah terkulai di bawah lantai.

"Hah?"

"Jidan." Ucapnya. "Demen sama Rere?"

Pemuda berjagat Hassabi itu mengangkat bahunya, pertanda bahwa ia tidak tahu. "Tau dah, akhir - akhir ini diajakin cabut ke warjok susah bener tuh orang, maunya dikelas bae."

"Lagi ulangan harian kali makanya maunya dikelas aja." Cetus Nakala.

"Ngaruh ama ulangan harian?" Tanya Haikal, sembari jemarinya sibuk memutar - mutar stik pada layar aplikasi.

Nakala tertawa, sembari jemarinya bergerak pelan mengoleskan liptint nude pada bibirnya. "Kalo lo?"

"Apa?"

"Iya, kalo lo demennya sama siapa?" Tanya gadis itu.

Haikal menggeleng. "Gak demen sama siapa - siapa gue, jomblo lebih asik."

"Kalo sama gue, gimana Kal?" Ledek gadis itu.

"Ogah ah, ntar gue dilabrak Gama." Sungutnya.

Gadis itu kembali tertawa. "Berarti kalo gue gak sama Gama, mau dong?" Ledeknya lagi.

Suara setapak sepatu terdengar kemudian, kian memecah hening yang mengembar suasana kelas. Pemuda dengan tas selempang juga hoodie hitam favoritnya itu tiba, sembari memutar - mutar kunci motornya di tengah ruas jari telunjuk.

"Good morningggggg!" Suara penuh pecah itu merasuki indera pendengaran Nakala, kian memecahkan gendang telinga didalamnya. Suara paling heboh itu tidak lain tidak bukan adalah milik Haidar. "Pagi - pagi, udah mepet ae ah~"

Negeri SebelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang