Nakala menelan gundah gulana pada kisah hidupnya yang semenjana. Ia tidak ingin mencintainya menjadi pilihan yang Gama sesali, namun juga tidak ingin meninggalkan Gama kelak menjadi pilihan yang ia sesali.
Alasan mengapa ia tidak bisa jatuh cinta dan memberikan hatinya sepenuhnya, sebab pemuda itu bahkan tidak mengenal dirinya seutuhnya.
Pertanyaan demi pertanyaan timbul membakar benaknya, apakah Gama akan tetap melontarkan hal yang sama ketika ia mengetahui bahwa Nakala pernah menggugurkan kandungannya?
Atau apakah Gama akan tetap mencintainya ketika ia mengetahui bahwa Nakala tidak bisa memperoleh keturunan lagi?
Hal yang mungkin saja bisa Gama terima, tapi belum tentu demikian orangtuanya.
Hubungan yang mereka jalani berotasi tanpa arah, lari jauh dari orbit semesta. Dan tidak bisa diperbaiki semudah realitas alam belaka.
Urung - urung kian meragu, gadis itu menarik - ulur niatnya untuk berbagi, apakah seorang adam bisa memahami? Apakah pemuda Aditya ini cukup peduli?
Pada akhir takdir semesta, gadis itu memilih untuk merahasiakan segala tentang dirinya, serapih mungkin, setenang mungkin, sebab prioritas hidupnya bukan lagi tentang dirinya, dimatanya, semesta telah mengakomodasi mau dunia. Serta tidak ada lagi harap yang bisa ia langitkan, untuk kepentingan dirinya. Sebab dengan siapapun, ia tak pernah jadi dominan.
Pada ujung semesta lain, disaat ada seorang gadis yang mati - matian mensyukuri hidupnya, ada juga pemuda bermata sipit yang sibuk memecahkan celengan batunya, kian menghitung angka demi angka rupiah disana.
"Ngapain lo?" Tanya sang tua, netranya mengerjap heran melihat sang adik tengah sibuk menghitung logam di atas lantai.
"Ngitung duit." Jawab Raka sekenanya, lagipula sang sulung ini buta apa bagaimana sih? Sudah jelas - jelas adiknya sedang menghitung uang, untuk apa segala ditanya pula.
"Buat?"
Raka Prabuming berdecak sebal. "Ck, ah. Kepo banget lo bang."
Sang abang yang tengah berdiri di ambang pintu segera melempar tissue dari saku celananya. "Gue nanya semprul!"
"Buat apa kek, udah gede ini."
Jawaban yang tidak pernah mau Raka jawab adalah uang tersebut untuk jalan - jalan bersama gadisnya, sosok perempuan yang amat sangat cantik yang kalau - kalau melintas dihadapannya, pasti menuai kata dari lisan Haidar. "Chelsea kok mau sih sama Raka?"
Masih beruntung, Dar. Ada yang mau sama Raka daripada elo gak sama sekali.
Sejak pertama mereka berkencan Raka tidak pernah memberikan apapun pada gadisnya, usahanya hanya sebatas mengantar gadisnya pulang, itupun kalau - kalau gadisnya mau.
Merasa memegang kodrat sebagai laki - laki tangguh, Raka menjebol tabungannya yang tidak seberapa ini.
"Rak, elo dipanggil bapak tuh." Sambung sang kakak, seraya kepalanya mencelinguk dibalik pintu. "Bapak mau ngomong katanya."
Mendengar hal itu, Raka segera memasukkan uang yang tengah ia hitung kedalam plastik. Kakinya berjalan menghampiri sang ayah yang tengah terpaku di ruang tamu bersama secangkir kopi hitamnya.
"Bapak manggil Raka?" Dengan sopan, ia duduk disamping sang ayah yang tengah menikmati langit berganti gelap.
"Iya, Rak. Tapi bapak gak enak ngomongnya." Lirih lelaki paruh baya itu.
Dahi pemuda Prabuming itu mengernyit. "Kenapa pak? Soal nilai Raka ya?"
Lelaki itu menggeleng, nafasnya risau bergemuruh. "Anu.." Ujarnya kikuk, "Bapak belum bayar listrik bulan ini, boleh pinjam uang celenganmu tak? Setengahnya saja juga rapopo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Sebelas
Fanfiction[ Wattpad AU ] Sekolah Menengah Akhir adalah karsa sederhana, tapi tidak untuk siswa - siswi Negeri Sebelas. tw! harsh words, parent issues, child trauma. highest rank #1 at sanha #1 at ryujin #3 at alternativeuniverse © 2022, nawendra