28 : Delik pukul sembilan

139 19 0
                                    
















play a songs on the tab & change theme to black.














Juan mendaratkan bokongnya pada kasur empuk pemuda Aditya, seraya jemarinya menekan remot AC. Membidik suhunya pada angka enam belas derajat. Pemuda itu menjentik bara pada ujung rokoknya, "Lo tau kan gue temen kecil Gala?"

Sebagai sang empunya rumah, Gama mengangguk.

"Lo tau kan gue dulu lebih deket sama Gala daripada sama lo, Gam?"

Gama, mengangguk. Lisannya bertatih lesu, "Jevan ngomong apa―"

"Bukan Jevan, bukan." Potong Juanda. "Gue gak akan nasehatin lo seolah - olah hidup gue lebih baik dari lo, Gam. Gak akan deh lo tau kan gue gimana?"

Pemuda itu mengangguk lagi.

"Lo sayang Nakala?" Tanya Juan, netranya mendelisik pupil Gama dengan kaku.

"Ju?"

"Sayang apa enggak, jangan malah manggil nama gue." Tekan Juanda.

Gama menunduk, seolah - olah ia tidak mampu menatap luruh pilu dari manik sang sahabat. "Sedikit."

"Lo sayang nyokap lo?" Tanya Juan, lagi.

"Ju, please―"

"Gua cuma nanya."

Gama mengusap wajahnya, delir keringat jatuh dari pelipirnya. Rambutnya yang urak - urakan kembali ia rancau dengan jemarinya. "Gue gak bisa jawab pertanyaan kayak gini Ju."

"Gue tau perasaan lo besar banget, orang jatuh cinta emang bego, Gam." Ujar Juan. "Tapi jangan sampe lo kehilangan semuanya cuma karena wanita, gue tau lo marah sama Jevan, gue tau dia mengecewakan. Tapi lo lebih dulu sama dia daripada sama Nakala, Gam." Tumpahnya, "Gala, abang lo. Emang tolol, tawuran ngebunuh orang dan dia dipenjara, tapi otak dia gak pernah diracuni perempuan."

Pemuda berjagat Aditya itu meletakkan siku tangannya pada paha. Telapaknya menampung penuh seluruh wajahnya yang risau. "Gue gak mau ngomongin ginian, Ju. Asli dah"

"Gua gak minta lo ninggalin Nakala, tapi wanita itu racun tertinggi laki - laki Gam." Tuai Juanda, "Kalo lo terus - terusan di kuasai nafsu, nidurin anak orang dengan alasan sayang, ketika terjadi apa - apa sama dia, lo siap gak tanggung jawab kayak gua ke anak gua?"

Bibir manis Gama terkatup, bisu.

"Ngewe emang enak Gam, gua tau." Ujar Juan, "Yang gak enak kan tanggung jawabnya. Gua tau elah Nakala gak bakal minta apa - apa dari lo, tapi kalo dia hamil? Lo mau bunuh diri bareng - bareng?" Pemuda Wijaya itu menjentik puntung rokoknya. "Lo gak inget Gam? Dia digebukin bokapnya?―"

"Tau, Ju. Tau." Potong Gama. "Dia cerita banyak ke gue tentang keluarganya."

Juan menepuk pelan bahu sahabatnya. "Perempuan sehancur itu mau lo hancurin lagi?" Juan menghela nafasnya, disusul segulung asap yang bertebaran dari bibirnya. "Gam, suatu hari nanti lo pasti akan kehilangan dia, yang bakal ada sama lo sampe akhir cuma gua sama Jevan. Demi cewek lo berantem sama temen lo sendiri?"

"Terus gue harus gimana, Ju?"

Netra sayu milik Juanda terpaku pada bingkai kayu di atas nakas. Foto kelulusan Gama saat sekolah menengah, dan didalam bingkai itu, Jevan terduduk tepat di samping Gama. Masa - masa putih biru dimana semua hal hanya tentang merokok dan main ps, tidak ada wanita, tidak ada jarak, tidak ada rentan diantara mereka, bibir Juanda mengatup, kaku. "Baikan, sama Jevan." Rintihnya.

Gama kembali mengusap wajahnya, seraya helaan nafasnya menganderungi suhu kamar tidurnya yang dingin. Atmosfer ruangan itu terasa membakar, meskipun angka enam belas derajat terpapar jelas pada air conditioner kamar itu. "Ju?"

"Perasaan sayang harusnya membahagiakan, Gam. Rasa sayang itu harusnya bikin lo seneng terus, bikin lo bahagia terus. Sejauh ini rasa sayang lo satu sama lain, malah bikin petaka." Tatih Juan. "Udah berapa banyak anak - anak yang kena kasus, cuma karena masalah lo sama Nakala ketauan hs? Udah berapa banyak anak - anak angkatan kita yang diincer konselling karena ketauan nongkrong bareng lo dan Nakala? Lo kan tau lo berdua dianggep problematic di angkatan kita, dan bisa - bisanya lo berdua pacaran?" Pemuda Wijaya itu mengusap wajahnya. "Sadar, Gam. Cinta lo berdua, udah terlalu banyak nyakitin orang - orang disekitar lo. Termasuk nyokap lo dan Jevan."

Gama beranjak dari duduknya. "Jevan terlalu ikut campur, Ju."

"Lo mau dibiarin sampe kayak gimana, Gam?" Ujar Juan. "Mau dibiarin sampe lo sama Nakala bahagia? Atau sampe hidup lo berdua ancur satu sama lain?"


"Kemana aja sih jam segini baru pulang?" Felix mengacuhkan dering yang mendistraksi indera pendengarannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




"Kemana aja sih jam segini baru pulang?" Felix mengacuhkan dering yang mendistraksi indera pendengarannya. Pemuda itu melangkah, memasuki rumah sembari menyeret tas hitamnya di lantai. "Mamah ngomong loh ini, Felix?!"

Lidah pemuda Andrew itu berdecak, pandangnya menoleh pada sosok wanita bersurai cokelat yang tengah bertolak pinggang di ruang keluarga. "Ck, main dulu tadi."

"Mamah ngechat kamu dari sore, chat mamah kamu arsip lagi?" Oceh sang ibunda.

"Lowbat mah, gak bawa charger." Jawabnya, alasan.

Langkah jenjang pemuda Andrew itu hendak melangkah kembali, niatnya meninggalkan sang ibunda dengan seluruh amarah yang menyelimutinya, raga pemuda itu sudah cukup lelah bahkan hanya untuk berdebat.

"Emang mamah harusnya naro kamu di pesantren kayak Caca, ya Lix." Ujarnya. "Udah raport merah, sekolah juga cabut - cabutan."

"Iya terserah mamah mau ngomong apaan." Jawab Felix, seadanya. Pemuda itu kembali melanjutkan langkahnya, seraya telapaknya menarik kenop pintu. Namun sejenak sebelum ia memasuki ruang tidurnya, netra pemuda itu melirik pada ruang disebelahnya, kamar sang kakak yang selalu rapih tanpa celah. Bahkan saat esok adalah hari libur sedunia, Caitlin akan tetap menghabisi waktunya dengan belajar disana, di ujung kamar tidurnya.

Pemuda itu menghela nafas, telapaknya meraih kenop pintu kendati kamar dengan semerbak nikotin itu menganderungi indera penciumannya. Memang benar, kedua kembar itu adalah kubu terbalik yang seharusnya tidak pernah terlahirkan.

"Kamar beresin, Lix. Bala banget kayak kandang hewan, malu kan kalo temennya main kerumah. Biar anak laki juga harus tetep rapih liat tuh kamar Caca." Cibir sang ibunda.

Felix mendecak, sebal. "Iya rapih lah, orang anaknya gak dirumah. Felix mah kamar berantakan karena tiap hari Felix dirumah."

"Kembaran kamu tuh ngerokok juga enggak, nakal juga enggak, bingung mamah."

Lagi - lagi pemuda itu mendecakkan lidahnya. "Ck, iya enggak nakal lah ma, orang anaknya dipesantren."

"Ya makanya tadi mama bilang kamu harusnya masuk pesantren juga."

Felix tak mengacuh, jemarinya meraih kenop tersebut kendati dari dalam bilik, ia menutup kencang pintu kamarnya. Lubuknya di kuasai arogansi dan rasa marah. Sama seperti Zidanne dan Haidar, dimanapun eksistensinya, ia jarang sekali menjadi dominan.

Bahkan, di keluarganya sendiri.

Negeri SebelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang