60 : Satu lembar dari Nakala

77 7 1
                                    


































Hai, aku Nakala.

Kalian benar, semua yang aku tulis didalam buku ini merupakan kisah nyata. Baik tentang hubunganku dan Gama, juga tentang teman - teman semasa sekolah menengahku.

Hari itu, di bulan Oktober. Tepat sebelum aku dan Gama memutuskan untuk selesai, kami mengarungi puncak. Tempat wisata yang hampir diketahui semua orang.

Hari itu, baik aku dan Gama tidak pernah mengetahui bahwa ternyata itu adalah pertemuan terakhir kita sebagai sepasang kekasih.

Kenang - kenangan yang aku simpan dari Gama bukanlah bucket bunga mahal, atau boneka teddy bear lucu. Moment sekali seumur hidupku, Gama memberikanku cokelat dua ribu rupiah yang ia beli di pelipir warung di jalan raya puncak.

Alasannya, mau beli rokok. Tapi yang aku dapatkan malah sebungkus cokelat dari kue beras yang ternyata rasanya tidak begitu buruk.

"Nih," Ia menyodorkan sebungkus cokelat kehadapanku, membuatku yang tengah terduduk di atas jok motor menunggunya membeli rokok jadi keheranan.

"Apa ini? Katanya beli rokok."

"Ini rokok," Ujarnya, sambil menunjukkan sebungkus rokok gudang garam filter di tangan kirinya. "Kalo yang ini mah cokelat, dari abangnya, katanya cewek aku cantik."

Hari itu, aku begitu mencintai Gama dengan seluruh tenaga yang aku punya. Bahkan hingga detik ini, cinta terakhirku masih terpaut pada Gama, meskipun kami sudah putus hampir satu tahun.

Gama bukanlah laki - laki berwajah tampan yang menarik perhatian semua wanita,

Bukan juga laki - laki yang suka bergaya didepan kamera, mengudang ribuan followers baru di akun instagramnya.

Gama Aditya, adalah laki - laki sederhana, yang berhasil membuatku jatuh cinta melebihi purnama.

Setelah aku memutuskan keluar dari Negeri Sebelas, beberapa hari kemudian kami berdua memutuskan untuk selesai.

Bukan karena kami sudah tidak mencintai satu sama lain,

Bukan juga karena kami memiliki masing - masing pengganti,

Namun karena rasa cintaku lebih besar dari egoku, maka dari itu, aku melepasnya.

Buatku,

Ia lebih dari sekedar cinta.

Ia adalah duniaku, mewakili seluruh isi hidupku.

Sampai di lembar ke enam puluh saat buku ini di tulis, aku tidak pernah memiliki kekasih baru lagi. Meskipun kami berdua sudah putus lebih dari 300 hari.

Sampai detik ini,

Aku masih mencintainya, lebih dari apapun.








































































































+



































"Gam," Panggilku.

"Apa?" Sahutnya,

"Kalau nanti kita langgeng sampai tua, kamu mau apa?"

Negeri SebelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang