16 : Hidden!

167 26 6
                                    










Haidar duduk di ujung kursi kayu sambil pletek - pletekin jari - jarinya. Disusul gadis berambut sebahu itu yang lagi sibuk mesen es cekek.

"Gue udah tau dari lama kalo dulu lo yang ngaduin anak - anak ke guru BK." Ucap gadis itu sambil membuka ruang tepat disamping Haidar. "Gue juga tau kalo misalnya yang ngadu ke guru BK kalo dulu gue sama anak - anak mabok dikosan gue tuh elo, Dar."

Haidar menyimpan pandangannya, netranya sibuk menatap tanah.

"Gue juga tau kalo yang bikin anak - anak kita ke tangkep di Warjok tiap cabut mapel itu lo." Sambung gadis itu. "But dont worry, gue gak akan ngomong ke anak - anak kalo ini kerjaan lo."

"Gue takut sama guru konselling Kal, pada waktu itu gue gak bisa bilang apa - apa selain iya." Tuai pemuda bersajak Abi itu. "Tapi semakin kesini, gue makin sadar kalo alasan lo semua pada nakal tuh bukan untuk seneng - seneng doang, ada alesan dibalik kelakuan lo semua yang bikin gue lama - lama faham." Jelasnya. "Gue udah gak pernah ngadu soal kelakuan lo semua semenjak gue ngerasa nyaman ada di samping lo pada."

Gadis itu mengangguk. "Soal gue sama Gam—"

Haidar menggeleng kencang. "Demi Tuhan, itu bukan gue." Ucapnya. "Gue juga enggak tau siapa yang ngaduin kalo lo sama Gama having sex, gue cuma ngaduin kalo lo dan anak - anak mabok bareng."

Gadis itu mengangguk faham. "Sejauh apa guru konselling mau bergerak buat gue dan anak - anak?"

Haidar terdiam. Lisannya terpaku, kaku. "Dia bilang mau ngeluarin beberapa di antara kita.." Ujarnya. "Beberapa diantara kita yang kenakalannya udah gak bisa ditolong lagi,"

"Contohnya?"

Pertanyaan dari gadis itu membuat Haidar terdiam. Atmosfer bumi pagi itu terasa mencekam untuknya. "Dia curiga anak - anak banyak yang narkoba, dan beberapa hari lagi bakal dilakuin test."

Nakala mengangguk, jemarinya melirik arloji yang menguntai cantik pada daging tangannya.

"Tapi ini bukan sekedar test urine." Lirih Haidar. "Ini test darah, dan buat anak - anak kita di-khusus-in test dari rambut untuk ngecek ada riwayat narkotika atau enggak."

Gadis itu mengusap wajahnya. "Kapan testnya?"

Haidar menggeleng. "Gue juga enggak tau, yang jelas test ini bakal jadi test dadakan sekaligus test yang ngejebak, kalo lo kabur lo ketauan takut sama testnya, artinya lo pasti pemakai. Tapi kalo lo tetep ikut test, kemungkinan hasilnya positif dan lo tau apa yang bakal terjadi kan?"

Gadis itu memejamkan matanya, berharap tidak ada satupun anak - anaknya yang tertangkap.

"Lo tau kalo Gam—"

Nakala mengangguk. "Gue jelas tau, Dar." Ujar gadis itu. "Gue tau Juan, Jevan, bahkan Gama pemakai narkoba akut."

Haidar menghela nafasnya. "Guru - guru udah banyak yang curiga karena matanya Gama merah banget." Ucap pemuda itu. "Gue gak bermaksud ngomong gini tapi kalo anak - anak kena masalah gue yakin yang akan di taro di garda terdepan untuk di drop out ya pastinya—"

"Gue sama Gama, kan?"

Haidar menunduk. Kepala pemuda itu mengangguk pelan. "Gue gak bisa apa - apa tapi kayaknya mulai hari ini, berhubung ada kejadian lo dan Keisya kemarin, kita gak akan pernah tenang, Kal."

Bell masuk berdengung, merasuki indera pendengaran para muda - mudi. Setapak kaki gadis itu hendak melangkah, namun dari arah lain, eksistensi pemuda yang tengah memikul jansport merahnya mendelisik.

"Cabut dari Warjok,
dibelakang ada pak Firman!" Jeritan dari pemuda Juanda itu membuat Nakala dan Haidar saling adu pandang.

Bell masuk pukul tujuh pagi mengartikan bahwa patroli akan dilakukan. Tongkrongan anak - anak dijamah dengan ria, para siswa yang berhambur - hamburan dan tidak mengikuti renungan pagi, akan kena surat peringatan sebesar sepuluh point.

Nakala mengikat tali sepatu bootsnya, seraya netranya mengunci pandang Haidar. "Satu, dua, tiga—"

"Pwittt" Suara pluit milik guru bimbingan konselling mengartikan bahwa Nakala dan Haidar tertangkap basah.

Tepat hitungan ke tiga saat Nakala mencapai akhir hitungannya, kedua remaja itu berlari, mengikuti Juanda yang menjadi pemandu jalan Nakala dan Haidar, beserta anak - anak lain yang terlambat dan hendak melarikan diri.

Ketiga remaja itu berlari tanpa arah, hingga ketiganya tiba di sebuah gang rongsok yang padat dengan rumah - rumah warga. Spanduk "Mama Ela" tergantung jelas didepan warung itu. Sepertinya tempat ini adalah hidden game anak - anak basis yang bahkan tidak banyak yang tahu.

Letaknya tidak jauh dari Warjok dan sekolah, hanya saja gang - gangnya yang tersusun seperti labirin membuat guru - guru tidak mampu menjangkau tempat tersebut.

Derril, Kino, William dan Ichan terduduk di pojok jalan dengan sebatang nikotin di jari mereka. "Welcome, Nakala!" Sapa Kino sembari menyambut heboh ketiga siswa yang barusaja mendaratkan kakinya.

"Lah?"

Kino tertawa. "Kenapa? Lo heran karena gue sama bocah - bocah gue gak pernah ketangkep cabut?" Ledek pemuda itu.

"Jangan bocorin ke anak - anak lain kalo kita disini." Ucap Juan. "Gue gak mau ngebawa orang - orang yang gak bisa dipercaya, warjok udah jebol."

Kino memetik jarinya. "Thats it, boom!" Ujar pemuda itu. "Warjok jadi gak aman gara - gara angkatan lo pada."

Gadis itu menyeringai. "Angkatan gue lagi nih, No yang disalahin?"

"Angkatan lo sebenernya 44 apa 45 sih?!" Cibir William, masih dengan jemarinya yang sibuk bermain 8 ball pool.

"Ya sekarang aja gue adanya dimana tai?" Sungut Nakala. "Masa gue harus ngomong berkali - kali kalo gue gak naik kelas?"

Ichan tertawa. "Nggak sih, lo harusnya pindah sekolah, Kal kayaknya." Ledek pemuda itu.

Kino bertolak pinggang. "Shutt! Anak - anak diem dulu, bapak lagi ngomong" Ujarnya seraya menirukan suara guru konselling sekolah—pak Firman. "Jadi gini, kemaren angkatan gue pada main billyard dan kita semua ketangkep." Ucap Kino. "Ini bener - bener sejarah, karena lo tau apa?—"

"—Gimana caranya sekolah bisa tau kalo lo semua ada di tempat billyard?" Sambung Nakala, yang dibalas oleh anggukan dari Kino, William, Derril dan Ichan.

"Lo tau kan kalo gue udah dari SMP main billyard disitu dan gue udah kenal sama orang - orang situ?" Timpa William. Iya, emang bener William tuh jago banget main billyard dan udah bertahun - tahun main disitu, bahkan menangin turnament billyard selama 3x berturut - turut.

"Nah!" Sambung Kino, diikuti jari telunjuknya yang membentuk pistol. "Pertanyaan gue adalah—"

"Who's the spy?" Sahut Nakala.

Kino yang kesel omongannya daritadi di potong itu berdecak masam. Harusnya kan ada kesan misterius, tapi diceletukin terus, kan jadi gak seru. "Tai nyaut mulu.." Sungut pemuda itu.

Ichan meletakkan koreknya di bangku panjang. Kakinya bergerak mengambil andil kian bergabung tepat disamping Kino. "Sebenernya No, mata - mata sekolah dari jaman angkatan tua tuh udah ada, tapi masalahnya bukan itu." Ujar pemuda berjagat Ichsan itu. "Masalahnya adalah, kenapa tahun ini anak - anak kita yang diincer, dan diincer nya bener - bener parah banget, sampe aktivitas lo di luar sekolah tuh juga dipantau." Sambung Ichan. "Masalahnya ya cuma karena kita - kita ini ngerasa keganggu dan ngerasa privacy kita gak aman aja."

Derril dan teman - temannya mengangguk setuju.

"Angkatan lo ketimpa juga?" Tanya Derril, menatap Haidar yang lagi duduk sambil ngelus - ngelus dada, ngos - ngosan.

Haidar ngangguk. "Iya bang, malah angkatan gue di foto - fotoin."

"Parah si Rill." Sambung William. "Kasus lo, gimana Kal?"

Nakala mengangkat kedua bahunya. "Ya masih dipantau, gue sama Gama gak pernah deket - deket kalo di sekolah karena itu."

Negeri SebelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang