22 : Benderang

156 20 4
                                    










as usually, change theme to black & play songs on the tab!


























And now, solidarity its just a shit.

Jevan penuh percaya bahwa tiga hal yang membuat kaum adam tergila - gila adalah harta, tahta, dan wanita. Serta seuntai bukti nyatanya, kini terpampang pada hidup sang sahabat. Sebuah kamuflase yang ia buat, justru adalah suatu tindakan yang sang sahabat gugat.

Dan boxing yang menjadi sasaran kebenciannya, adalah Nakala Bumi.

Pemuda berwajah lesu itu menyeret kaki besarnya pada halaman rumah. Kemudian bunyi engsel pintu meledak di gendang telinganya.

"Baru balik?" Elizabeth Abraham―sang sulung, muncul dari balik pintu seraya telapaknya bertolak pinggang. "Lo abis darimana sih, jam segini baru balik, masih pake seragam lagi."

Tanpa menjawab, Jevan menerobos masuk, kian tanpa permisi.

"Jevan gue nanya loh?" Pekik sang kakak, seraya langkahnya mengekori Jevan yang mulai menghilang, memasuki kamarnya. Pintu kayu itu diketuk kencang, seraya ke khawatiran menguasai lubuk sang kakak, ia tidak berhenti mengetuk pintu dan meneriaki sang adik dari sana. "Jevan?! Lo kenapasih?"

Kendati, tidak ada jawaban dari lisan Jevan Abraham. Telapaknya malah merampas bingkai foto kelulusan sekolah menengah, yang terpajang rapih di atas nakas kamar tidurnya. Pemuda bernaung Abraham itu membanting bingkai tersebut, menyisakan serpihan pada lantai kamarnya. Ia tidak pernah percaya, bahwa seorang perempuan bisa menghancurkan benteng kokoh kebersamaan yang telah lama ia bangun.

Besar rasa bencinya, banyak rasa marahnya, pada si kanya pemilik nama Nakala.

Bagi Jevan, kebersamaan adalah segalanya. Elizabeth hanyalah satu - satunya alasan mengapa ia tetap berjalan pulang, meski harus merangkak mempertahankan harga diri dan egoisme nya, Bagi Jevan, teman - temannya adalah segalanya. Tidak ada detak kehidupan dari dasar jantungnya, apabila ia tidak bersama sang karib.

Mempertahankan atau melepaskan? Opsi yang Jevan sudah tahu, bahwa sang tuan Aditya, akan memilih untuk menghempasnya sejauh antartika.

Gemuruh amarah muncul dari kamar ujung, muncul sang tua dengan surainya yang mulai menua. "Jevan Abraham! Banting apa kau?!" Eksistensi sang tua yang dibalut kemeja polos itu membuat sedikit gentar dari lubuk sang putra.

"Pah," Lirih Elizabeth menahan sang ayah, untuk tidak mendobrak pangsa kayu jati yang terpintu disana.

"Jam segini baru pulang! Buat berisik pula!" Arogansi itu melahap sang tua. "Keluar kau Jevan!"

Udaya sang Abraham menarik pintu kayu kamarnya. Seraya satu tamparan mendarat penuh deklar tepat di atas pipinya.

"Kau tau papah lagi tidur tidak?!"

Jevan Abraham, adalah sasak favorit sang ayahanda. Si tua yang gemar melukis luka.


Pada sudut bumi yang lain, pemuda Aditya itu mengendap - endap pada sudut halaman rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Pada sudut bumi yang lain, pemuda Aditya itu mengendap - endap pada sudut halaman rumahnya. Jarum jam menandakan langit sudah mulai gulita, pemuda itu tidak menghembuskan seuntai nafaspun, seraya kakinya berjinjit pelan, hendak memasuki rumah abu - abu itu tanpa suara.

Kriettt.

Hatinya berlapang lega, tatkala ia berhasil memasuki rumah yang nampaknya seluruh anggota keluarganya sudah terlelap pulas, lampu - lampu dimatikan, tidak ada sejentik cahaya pun yang merasuki maniknya.

Namun rasa leganya dihancurkan tatkala sang ibunda menjentik saklar lampu pada ujung ruangan. "Ngapain masih pulang?"

Dari dalam hati, Gama mengucap sial berkali - kali.

"Mama tanya ngapain masih pulang? Gak tinggal sama cewek mu lagi?" Sarkastik dari lisan sang ibu membuat Gama menelan saliva nya bulat - bulat.

"Apaansih ma? Siapa juga yang tinggal bareng?" Elaknya, "Gama capek mau tidur."

"Mama mau ngomong sama kamu, Gam." Kata - kata keramat itu terlontar begitu saja, membuat Gama melempar gugup pada sekitar. "Sudah seberapa jauh sih kamu berjalan dari pantauan mama?" Ungkapnya. "Kamu laki - laki, bukan berarti kamu bebas menginjak harga diri perempuan."

Yang diajak berkoneksi menghela nafasnya. "Ngomong apasih ma?" Balasnya, pura - pura tidak tahu.

"Alasan aja kamu, Gam." Cibir sang ibu, sembari kakinya bergerak menuju sofa hitam pekat yang terpajang di ruang tamu. "Jevan cerita semua sama mama, sudah berapa kali kamu tidur sama dia, berapa kali kamu bolos sekolah, berapa kali juga kamu bohongin mama."

"Jevan dipercaya." Balas sang putra.

"Ya terus kamu mau mama percaya siapa? Anak mama sendiri aja udah gak bisa dipercaya." Ungkapnya. "Mama udah chat pacarmu."

"Udah tau." Sahutnya, angkuh. "Ngapain sih ma? chat - chat begitu. Gama udah gede, malu tau."

Sang ibu berdecih, emosi. "Ya kalau ngerasa udah gede gak usah tinggal disini lagi, Gam." Katanya, "Papa kamu harus tahu ini, darah dagingnya seperti ini"

"Kenapa jadi ke papah segala sih?" Usutnya.

"Ya kamu mama bilangin gak bisa, papa yang harus ngomong kayaknya. Udah mama bilang ke cewek mu, gak usah ketemu kamu lagi."

Gama menghela nafasnya, seraya telapak kakinya berjalan menyusuri ruangan kosong itu. "Terserah mama mau ngomong apa, intinya aku sama dia gak melulu soal yang gak bener, gak kayak apa yang mama fikir."

Pemuda itu melangkah, melewati eksistensi sang ibu yang tengah berdiri menahan amarah. Lalu kakinya tiba pada penghujung sisi. Menampilkan eksistensi seorang gadis kecil yang usianya belum genap tiga tahun. "Mama, bikin susu."

Gadis yang tidak pernah Gama bayangkan, akan menjadi salah satu bagian dari kartu keluarganya. Fase yang dahulu ia kira, dunia hanya miliknya dan sang kakak saja, ternyata terhembas sirna pada mau semesta yang lain.

Gadis lucu yang Gama kira, dunia hanya sebatas ia menjadi si bungsu. Kini tergantikan oleh gadis bermata sayu, sang adik tiri. Melihat bagaimana keluarganya terbagi, dan beban tertinggi menjadi kuasa eksistensinya.

Satu hal yang tidak pernah orangtuanya mau mengerti, bahwa ia masih ingin dianggap anak kecil, terlepas dari orientasinya adalah laki - laki.

"Utuktuktuk, sini sayang.." Ungkapan manis itu terucap dari bibir sang ibunda, seraya telapaknya terbuka lebar kendati memeluk sang putri. "Sebentar ya, mama lagi ngomong sama abang." Telapaknya menggendong pelan tubuh si bungsu, seraya memeluknya percis seperti boneka.

Gama yang tidak bergerak dari sana, hendak melangkah kembali, meninggalkan sang ibu dan sejuta memori.

"Gam, inget ya yang mama bilang, mama udah pesen ke pacarmu baik - baik, gak usah ketemu kamu lagi, dan kamu pun gak usah berhubungan lagi sama dia. Kamu masih sekolah Gam, mau jadi apa kalau hancur gara - gara wanita?" Ucapnya.

Sementara mendengar celoteh dari lisan sang ibunda, Gama tidak bergeming, gendang telinganya seolah - olah menolak jelas masukan tersebut. Kakinya kembali melangkah, menaiki anak tangga kemudian lenyap dari sana.

"Kamu tuh! Orangtua lagi ngomong, main lewat - lewat aja!" Jerit sang ibu. "Mama udah wanti - wanti kamu ya Gama, jangan sampe mama harus nekat demi masa depan dan kehidupan kamu! Cinta bukan cuma dia aja, Gama!"

Lantas, cinta mana yang bisa Gama dapatkan?

Cinta dari kedua orangtua yang mengucap janji di atas nama tuhan, namun berujung pisah karena semesta?

Ironis sekali.

Negeri SebelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang