Lama kelamaan berkunjung setiap minggu dan harus menceritakan bagaimana hari - harinya berjalan menjadi hal yang membosankan bagi Haikal. Hari dimana ia harusnya bisa menghabiskan waktunya untuk hal - hal yang menyenangkan, seketika berubah menjadi hal menyeramkan.Karena setiap akhir pekan, realita itu harus kembali ia telan. Iya, realita bahwa orangtuanya bukan lagi rumah yang membangun cinta pada satu singgah. Realita yang membuatnya tumbuh dengan resah.
Haikal harus bertemu sang ibunda, lalu menceritakan bagaimana hari - harinya dari senin hingga sabtu berjalan. Atau harus memberitahu kedua orangtuanya yang memutuskan untuk berpisah, bahwa mereka harus datang mengambil raport, datang acara rapat sekolah, atau bahkan datang menghampiri ketika ia dilanda masalah.
Hal - hal tersebut, tiba - tiba jadi membosankan untuknya.
"Latihan futsal di ubah hari Minggu lagi Kal, males banget gue." Suara serak - serak basah khas orang baru bangun tidur itu mendelisik indera pendengaran Haikal. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas dengan keadaan loud speaker menyala, membuat suara serak milik Haidar sampai pada pendengarannya sementara jemarinya sibuk mencari baju di lemari.
"Yaudah gapapa, Dar. Gua pilih hari Minggu deh"
Mendengar jawaban dari lisan Haikal, pemuda Abi itu memekik kencang. "Lah?! Gue kan gereja Kal! Lo juga bukannya kerumah nyokap lo ya tiap Minggu?"
"Gampang, yang penting gua futsal."
Haidar as a person who's always know whats going on itu mengernyitkan dahinya, pemuda yang tengah berbaring di atas kasur king size dengan sprei real madrid itu segera bangun dari posisinya yang semula terlentang kini terduduk kaku di atasnya. "Bokap nyokap lo, rujuk?"
Haikal ketawa, tangannya yang lagi sibuk milih - milih baju langsung kejepit pintu akibat gak fokus. "HAHAHAHAHAHA! Lo kan tau Dar, bokap gua udah nikah lagi, mau rujuk gimana tai?" Kekeh cowok itu, sambil narik tangannya dari kenop pintu lemari yang membuat pintu tersebut mengernyit telunjuknya. "Akh! Kontol sakit!"
"Punya bini dua?"
Kalau di alokasikan, Haidar adalah pemilik jawaban paling tidak realistis dari seluruh manusia di jagat raya. Obrolan keduanya berganti topik, dari yang semula tentang kegiatan ekstrakulikuler mereka, kini menjadi topik majemuk, tentang Syahla dan seluruh problematika-nya.
"Tapi ya Kal, lo beneran mau sama dia apa gimmick doang sih biar lo gak kebawa - bawa masalah bocah sama Nakala?" Tanya Haidar, kepo.
Haikal yang lagi beres - beres meja belajarnya itu berdehem pelan. "Niat gue yang pertama sih, gue gak mau gila kebawa - bawa masalahnya Nakala, masalahnya sama BK soalnya." Ujar cowok itu. "Makanya kan gue gapernah nongkrong sama dia - dia pada kalo diluar sekolah"
"Eyy~ Tapi lo gak perlu segitunya tau Kal, nongkrong ya nongkrong aja."
"Gimana mau nongkrong kalo semua yang nongkrong sama dia dipanggil konselling?"
Haidar terdiam, bibirnya berkatup kaku. Kalau di fikir - fikir, iya juga. "Solidarity, men." Jawabnya, asal.
Haikal berdecak kesal, seraya jemarinya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kayu itu, kemudian mendaratkan tubuhnya pada ranjang. "Iya solidaritas gak harus selalu kena masalah bareng - bareng kan? Gua tetep solid tapi sorry gua gak mau kena masalah. Masalah gua udah banyak pas SMP."
"Lo juga gak harus deketin cewe buat gimmick, Kal. Kalo mau ngejauh ya ngejauh aja" Jawab Haidar.
"Lah Dar? Kan lo sama Zidan yang jodoh - jodohin gue sama Syahla!" Seru pemuda Hassabi itu. "Mana baper lagi Syahla nya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Sebelas
Fanfiction[ Wattpad AU ] Sekolah Menengah Akhir adalah karsa sederhana, tapi tidak untuk siswa - siswi Negeri Sebelas. tw! harsh words, parent issues, child trauma. highest rank #1 at sanha #1 at ryujin #3 at alternativeuniverse © 2022, nawendra