play songs on the tab and change theme to black.Hari itu, pilihan yang Gama ambil adalah mengikuti kata hatinya. Meskipun keputusannya melawan orbit semesta. Ia yakin betul seolah - olah pilihannya adalah hal yang ia yakini benar, sampai - sampai melawan kuasa sang ibunda, tidak lagi jadi hal yang ia khawatirkan.
Namun, ada satu yang ia lupa. Bahwa manusia bisa bebas berbuat sesuka hatinya, tetapi tidak bisa merubah oranglain semau-nya.
Fakta bahwa Nakala bumi tidak pernah benar - benar jatuh cinta, adalah hal yang tidak pernah Gama ketahui.
Perempuan ber surai hitam legam dengan panjangnya yang sudah melebihi bahu itu terduduk, telapaknya meletakkan bucket bunga pada tanah timbul di hadapannya. "Halo, anak bunda."
Ada satu lembar kertas usang yang tidak pernah ia terbitkan didalam novel klise ini, tentang bagaimana hidupnya berjalan sejauh ini. Nakala tidak pernah merasakan benar - benar jatuh cinta, sebab perasaannya melayang tinggi hingga tak terlihat lagi.
Tidak pernah ada yang benar - benar tahu, bahwa jatuh cinta adalah hal paling menyakitkan, untuknya. Tidak pernah ada yang mendampinginya, untuk hidup, untuk menetap, semua dimatanya hanya sirna dan sekejap.
Satu tahun lalu, ia memopoh dirinya pada pelataran pengadilan negeri, disusul separuh jiwanya yang terbang bersama dengan setumpuk harapan di benaknya. Nakala adalah penyintas kasus pemerkosaan, di usianya yang ke 15 tahun. Ada alasan mengapa menulis biografi hidup adalah hal yang paling ia benci, sebab moment menyeramkan itu akan selalu hidup disetiap inchi langkahnya, sekalipun ia telah mencoba untuk gugur dan mati.
Hal yang tidak pernah Gama ketahui, bahwa gadisnya hidup di ambang trauma selama ini.
"Antrian 15, Nakala Bumi?" Gadis itu menghela nafasnya, seraya telapak sepatunya bergerak menyisakan tanah pemakaman di atas lantai rumah sakit. Semerbak melati mengudara di ruang tunggu rumah sakit, membuat edar pandang menatapnya dengan begitu hati - hati. "Jadwalnya hari ini apa? Medical―"
"Control." Lirih gadis itu, seraya jemarinya meremat pelan pakaian hitamnya.
Netra sang perawat mengerjap heran, sembari menatap kartu tanda penduduk milik si gadis yang baru berusia tujuh belas tahun, namun kini ia mengajukan medical check-up di divisi kandungan dan ginekologi, yang kebanyakan pasiennya adalah keluarga berencana dan ibu hamil.
Sang wanita yang duduk di balik meja resepsionis itu membeku, seraya jemarinya membolak - balikkan folder berisi data diri.
"Iya mbak, saya." Seolah sudah terbiasa, gadis itu hanya mengkonfirmasi data dirinya, kemudian menandatangani biaya administrasi yang tertera.
"Bangsal kebidanan dan ginekologi kak, benar?" Masih ragu - ragu dan tak yakin, sang perawat bertanya lagi.
Tuai senyum terlukis dari ujung bibirnya, "Iya mbak, benar."
"Hari ini jadwalnya medical check up untuk rahim ya kak." Ujar sang perawat, sembari jemarinya bergerak menekan stempel pada lembaran kertas. "Mohon maaf apakah kakaknya sudah berkeluarga dan menikah? Apakah ada nomor wali yang bisa dihubungi?"
Gadis itu menggeleng. "Tidak ada, mbak."
Benteng tinggi yang tidak pernah berhasil Pancagrama lewati, adalah kenyataan bahwa gadis itu mengidap penyakit serviks atau penyakit rahim. Separuh dinding rahimnya luruh dan mengalami infeksi, atau pendarahan absolut. Resiko yang ia pikul seberat samudera itu, adalah fakta bahwa dirinya tidak akan bisa memberi keturunan lagi.
Sementara makna perempuan dimata patriarki, adalah melahirkan dan menyusui.
Dan hal terberat yang enggan tuhan anugerahi untuknya, adalah merasakan kesempatan sebagai ibu. Figur yang eksistensinya lebih tinggi dari sekedar perempuan.
"Administrasi pribadi ya kak, bill nya mohon segera di lunaskan ketika sudah melakukan medical check up dan menebus resep obat disini." Ucap sang perawat. "Ruangan dokter An. Di bangsal ginekologi ya kak, pintu nomor tiga."
Satu - satunya alasan mengapa Nakala tidak pernah ingin jatuh cinta, adalah sebab beban hidupnya. Baginya, semua laki - laki yang bertemu dengannya, hanyalah sebuah batu loncatan menuju dewasa. Sedang definisi kasih itu, bukanlah titel yang tepat untuknya.
Sementara pada frasa buku kehidupan manusia lain, ada yang begitu yakin bahwa wanita yang ia pilih akan berakhir menjadi aksara hidupnya.
Haidar berjalan pelan menyusuri satu persatu pelataran, seraya mencari kuda besinya di halaman sekolah. Ia menggaruk tengkuknya sebab begitu banyak motor dengan tipe yang sama, alih - alih ia lupa dimana ia memarkir motornya.
Pemuda itu berjalan kebingungan dengan alkitab dipelukannya, moment sepulang rohani kristen adalah hal yang paling Haidar benci. Sebab tubuhnya sudah tidak cukup memikul lelah - letihnya.
"Bareng Dar" tepukan jentam menghantam pundak pemuda itu, membuat Haidar yang semula sibuk mencari eksitensi kuda besinya, kini terlonjak kaget.
"Eh kontol!" Lontar pemuda itu. "Kaget gue babi! Gue kira siapa." Sungutnya, tatkala mendapati eksistensi Jevan berada tepat dibelakagnya. "Lo mau bareng gue?"
Jevan mengangguk, seraya bibir pemuda itu terulum manis, dan jemarinya sibuk menarik - ulur tali ransel hitamnya.
"Aing ngejemput adek aing sekolah, Jevan sayang." Ucap Haidar, kembali dengan logat Bandungnya padahal ia ber marga Ambarita, marga suku Batak.
"Yaudah boti, adek lo suruh depan." Tuai Jevan, terkesan memaksa, ya begitulah Jevan.
"Gak bisa, Jevan." Ujarnya. "Sia kan tau badan adek aing segede apa, lebih gede dari toren Eropa"
Jevan mendaratkan bokongnya tepat di atas jok motor si pengendara. "Gak mau tau, daripada gue bilangin Nakala kalo kemaren yang nganterin gue ribut sama Gama itu elo? Pilih mana? Mau lo gak punya temen lagi?"
Haidar terdiam, takut. "Kan elo yang minta temenin, lagian juga gue kan gak ngapa - ngapain, cuma nganter lo terus pulang."
Jevan mendecih. "Tau ga Dar, kenapa perang israel - pakistan enggak kunjung selesai?"
Yang ditanya menggeleng.
"Soalnya prajurit lawan membantu kubu lawan." Timpal Jevan. "Ngerti kan maksud gue kalo lo ketauan bantu gue buat ribut sama Gama, itu artinya orang - orang bakal mikir kalo lo di pihak gue." Sambungnya. "Sementara lo deket banget sama Nakala, dan gimana kalo dia tau kalo elo bahkan gak misahin gue sama Gama pas kecot?"
Haidar terdiam. "Iya - iya, gue nganterin lo pulang." Ucapnya penuh terpaksa. "Tapi lo gak perlu segininya juga tau Van ke Gama, dia kan temen lo dari SMP, lo juga tau nyokapnya gimana kalo marah, tapi lo malah ngaduin ke mamahnya kelakuan dia gimana."
"Ya gapapa biar nyokapnya tau kelakuan anaknya gimana, biar nyokapnya tau juga kalo Nakala bawa pengaruh buruk buat Gama." Ujar pemuda Abraham itu dengan intonasi penuh angkuh.
Haidar menyalakan motornya, menekan tombol stater pada kepala kuda besinya. "Tapi emang nyokap lo tau kelakuan lo sendiri gimana?"
Jevan terdiam. "Udah deh ah buruan, nyalain motor lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Sebelas
Fanfiction[ Wattpad AU ] Sekolah Menengah Akhir adalah karsa sederhana, tapi tidak untuk siswa - siswi Negeri Sebelas. tw! harsh words, parent issues, child trauma. highest rank #1 at sanha #1 at ryujin #3 at alternativeuniverse © 2022, nawendra