56 : Gagal

49 8 0
                                    

























sampai jadi debu - banda neira.

















Actually, buat Gama. Pemuda itu gak suka hal - hal yang ribet, selama pacaran dimasa SMP buat ngelakuin bare minimum as a man aja dia males banget. Karena buat dia lo mau sama gue yaudah, enggak juga yaudah. Gama itu sebenernya ganteng, cuma karena latar belakang keluarganya yang "berantakan" dia jadi punya insecurity buat ngedeketin lawan jenis, karena ngerasa dia sendiri aja belum bisa nyelesain masalah didalam dirinya sendiri, apalagi harus bangun hubungan baru.

Tapi, for a first time ada cewek yang bisa bikin hatinya luluh. Cewek yang sebenernya juga ketemunya gak sengaja sama dia, tapi buat sampe detik ini, ada banyak banget cerita yang masih mau Gama rangkai berdua sama cewek itu.

Cuma dampak dari hubungan yang dibangun tanpa kesiapan ya seperti ini, berantakan.

Gadis itu terdiam di warung makan nasi goreng di pelipir sentul, daerah elit yang lagi di bangun itu bikin banyak banget debu proyek berhamburan sampe ke makanannya. Sebenernya Nakala bete nungguin Gama lama banget, tapi tiba - tiba cowok itu dateng kedepan tukang nasi goreng sama bapaknya.

"Om udah tau Gama datengnya sama kamu kok, kenapa gak kerumah?"

Wajah penuh panik itu terlukis di mimik wajah Nakala, pupil matanya membesar, melotot ke arah Gama penuh khawatir.

Sementara yang di tatap hanya tersenyum, mencoba menenangkan.

"Lama kan nungguin Gama disini?" Kekeh lelaki paruh baya itu. "Ayok, kita ngobrol dirumah aja"

Sendi engsel gadis itu seolah berat untuk melangkah, ia menggigit gigir bawahnya seraya baju rajut berwarna cokelat muda yang ia kenakan diremat pelan oleh Gama. "Gapapa, Papa gak bakal marah" Ujar sang kekasih, dengan deeply voice khas miliknya.

Nakala naik ke atas motor miliknya yang dikendarai oleh Gama, sedangkan sang ayah jalan lebih dulu. Konversasi diantara keduanya jadi cekam seketika, hening. Tak bersua.

"Kita enggak bisa pulang aja?" Rengek gadis itu,

"Enggak lah Kal, Papa mau ngobrol."




















+
































"Juan," Jemari jenjang dengan kuku lentik milik seorang gadis itu menarik pelan telapak perkasa milik perwira Wijaya. Suaranya melirih, memanggil nama seseorang yang sudah lama ingin ia ajak bicara.

"Kenapa?" Pemuda dengan topi mlb hitamnya itu menoleh, jaketnya yang tersisir air hujan itu meninggalkan bercak.

Gadis dengan surai hitam pekat itu menatap kedua bola mata Wijaya, "Gak mau coba gendong anaknya dulu?" Lirihnya, "Dari pertama dia lahir, kamu gak pernah-"

"Din," Panggilan dingin dari Juanda Wijaya membuat gadis bersajak Dinda itu terdiam seketika. "Gue tau dia bukan anak gue." Ujarnya, "Gue udah coba nyelesain ini semua dengan tanggung jawab sama anak lo disaat bahkan dia bukan anak gue"

Adinda menunduk, malu. "Terus kenapa dari awal kamu mau tanggung jawab, Ju?"

"Karena lo waktu itu pacar gue." Ucap Juan, "Apa yang bakal gue lakuin kalo gue tau pacar gue dihamilin oranglain? Padahal gue yang pacarnya." Sambungnya, "Kalo gue ninggalin lo, semua orang bakal mikir gue yang lari setelah ngehamilin lo, terutama keluarga lo. Lo mau ngomong apa ke keluarga lo? Mau bilang lo hamil anak oranglain disaat pacar lo aja gue?"

"Ju, aku mintamaaf soal itu-"

"Gak usah Din, permintaan maaf udah gak perlu." Masih pemuda Wijaya yang berbicara, "Gue bakal ngurus anak lo tapi sorry Din, gue gak bisa janji gue bakal nikahin lo."

Gadis bermata sayu itu melotot, Jemarinya kembali menarik telapak tangan lelaki dihadapannya. "Ju? We can fix it together, right? Gue janji gue bakal berubah asal sama lo, Ju-"

"Din, gue juga punya kehidupan." Jawab Juan, "Gue masih dateng kesini bawain obat dan susu cuma karena sebatas rasa tanggung jawab gue sebagai laki - laki yang gagal ngelindungin lo dulu." Pemuda itu membalik tubuhnya, meletakkan sebuah plastik berisikan obat dan kaleng susu di depan pintu kontrakan wanita itu. "Ini obat sama susu yang lo minta, tolong pake yang bener. Gue nyari uangnya gak mudah."

Dengan angkuh, pemuda itu meninggalkan pelataran rumah tersebut, kakinya melangkah ke atas aerox hitam miliknya. Lalu dibawah hujan, ia menghilang dari pandangan gadis itu.

Samar suara masih terdengar di inderanya, teriakan seorang gadis yang sudah pasti kita tahu siapa.

"Juanda, aku masih sayang kamu!"

Hari itu, Adinda tahu bahwa penyesalan terbesar dihidupnya adalah satu ; menyia - nyiakan Juanda.

Juan tidak pernah menyesali itikadnya untuk bertanggung jawab atas sesuatu yang bahkan tidak ia lakukan,

Karena sejujurnya, sampai matipun, gadis itu masih punya ruang sendiri di dalam hatinya.

Namun, kekecewaan yang menyelimuti dirinya, lebih besar daripada rasa sayangnya pada Adinda.

Juanda tahu, tahu betul. Bila dulu ia memutuskan untuk pergi, maka gadis itu tidak akan memiliki siapapun dihidupnya.

Meskipun sampai detik ini sesak menghantuinya, tujuan Juanda bertanggung jawab hanya satu ; agar gadis itu tetap hidup.

Hujan mengguyur Jakarta bagian Selatan, malam di hari kerja membanjiri Senayan dengan macetnya kendaraan pribadi para insan. Deras dan petir menyambar kota itu, para pedagang kaki lima sibuk menutup lapaknya, sementara Juanda, hanya mengusap wajah di atas motornya.

Ia menangis, mengingat hal yang masih menjadi alasannya sampai detik ini untuk tidak membangun hubungan dengan siapapun.

Pemuda Wijaya itu terisak penuh sedu di bawah hujan deras, mengapa ia dulu begitu bodoh sampai - sampai gagal menjaga gadisnya.

Negeri SebelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang