21 : Janji

166 23 14
                                    













Dua bulan yang lalu, saat sang surya tenggelam meninggalkan singgasana nya, ada beberapa remaja yang menuai janji untuk tidak saling meninggalkan.

"Ini gue rekam ya, Dar!" Jerit gadis berambut pendek itu, seraya meletakkan ponselnya tepat di depan sepatu mereka.

Haidar mengatur posisi, seraya meletakkan telapak tangannya pada telapak yang satu. "Ini gak pake yel - yel?"

Ungkapan dari pemuda itu membuat Syammi mendaratkan pukulan mautnya pada kepala si pemuda. "Tolol! Lo kira ini LDKS?"

"Sebelas, maju!" Jerit Jevan tiba - tiba. "Gitu aja yel - yel nya?"

Juan menoyor pelan kening pemuda Abraham itu. "Kampung bego Van, ah!" Cibirnya. "Udah gak usah pake yel - yel, langsung aja keatas gitu tangannya."

"Guys, ini udah gue rekam loh.." Ungkap si gadis, seraya nafasnya terhembus pasrah.

Gama yang sedaritadi sudah meletakkan telapak tangannya, menatap teman - temannya penuh kesal. "Ayo dah ayok, gak usah pake yel - yel."

"Satu.. Dua... Tig―" Haidar yang tengah menghitung, menghentikan hitungannya tatkala eksistensi pemuda Prabuming itu menubruk dirinya.

"IKUTANNN!" Jerit Raka, sembari menyedot es gula batu di cengkraman tangannya.

"Ah elah monyet bukannya daritadi." Cibir Jevan. "Itung ulang, Dar."

Haidar menghela nafasnya, seraya jemarinya bergerak membentuk angka satu. "Satu.. Dua.. Tiga!" Ujar pemuda itu. "Kita bakal bareng terus sampe lulus?!"

"Se-be-las!" Jerit semuanya.

Janji hari itu, tidak berhasil Gama dan Jevan tepati dengan baik. Segala sesuatu tidak berjalan se indah katanya dan se indah apa yang mereka impikan. Solidaritas itu, mati kutu. Dan berseteru.

Malam hari ini, angin begitu kencang, merasuki kulit demi kulit manusia dengan begitu cekatan. Seraya kepalan tangan pemuda Aditya itu nyaris mendarat di wajah pemuda Abraham. Pancagrama Aditya, insan yang di balut sweater hitam itu mencengkram keras kerah seragam Jevan Abraham, sahabatnya sejak sekolah menengah. "Lo ngomong ke nyokap gue?"

"Ngomong apaan?" Sewot pemuda bermata sayu itu.

"Soal gue sama Nakala." Tekan pemuda Pancagrama itu.

Jevan Abraham mengangguk seru, lisannya berkutat menuai sebuah kata. "Iya, gue ngadu, kenapa?"

Gama menahan gejolak emosi yang membakar hati kecilnya. "Gak usah cepu apa Van, tai. Kasian anak orang kalo kena imbasnya. Lo kan tau nyokap gue gimana kalo udah ngomel."

Pemuda berjagat Abraham itu terkekeh. "Lah? Nyokap lo ngomel ya urusan lo, lagian emang dia ada kasian sama lo? Lo kasian sama Nakala bisa, tapi gak ada kasiannya lo sama nyokap lo ya, Gam?" Ujarnya. "Eh, Gam. Mikir. Lo berhari - hari ngumpet di kosan Nakala, nyokap lo nyariin nya ke siapa? Ke gue, Gam." Timpalnya, "Lo kira gue gak tau lo udah berapa kali nyamperin cewek itu? Ke kosannya, tidur sama dia. Gue tau, Gam."

Satu langkah Pancagrama maju, melahap jarak antara ia dan Jevan. Menyisakan bara emosi dihadapan keduanya. "Yaudah lo kalo udah tau gak usah ngurusin, kontol." Ujarnya. "Hidup gue ya pilihan gue, Van."

Jevan tertawa, penuh cemooh di wajahnya. "Yaudah lo ngomong gitu ke nyokap lo jangan ke gue ngentot!" Cela nya. "Lo jadi begini perkara cewe, Gam? Yang nemenin lo dari SMP siapa? Gue!"

Gama menyingkap pelan surai hitamnya yang memanjang, kian menutupi netra indahnya. "Gue juga gak bakalan lari ke dia kalo lo pada ada buat gue." Cibirnya. "Lo tau hubungan gue sama bokap tiri gue gimana? Tapi pas gue ancur, pas gue ada masalah, lo pada kemana si?" Ujarnya. "Lo ngehubungin gue cuma buat mabok doang tanpa pernah lo tau kalo gue juga butuh tempat cerita."

Jevan tertawa seraya bibirnya menyeringai membentuk bulan sabit. "Ooh, lo ngerasa gue gak pernah ada kan, Gam?" Sahutnya. "Lo dari SMP kelas 7 sama gue, abang lo ke tangkep gue yang tetep nemenin lo Gam!"

"Gak usah bawa - bawa abang gue lah Van tai, ini urusan pertemanan lo sama gue." Ungkap lelaki itu. "Makasih banyak udah pernah ada buat gue, tapi hidup gue gak melulu soal lo kan?"

"Gue mana pernah ninggalin lo sih Gam kalo gue punya cewe?" Ucap Jevan. "Gue gak masalah lo mau pacaran sama dia lo mau tidur sama dia, tapi apa susahnya sih jangan kegilaan cewek gini? Bukannya Kino udah ngomong ya, kalo itu cewek emang terkenal tukang main cowok?" Sambungnya. "Derril aja―"

"Demi Allah gue gak tertarik soal masa lalu dia." Potong pemuda itu. "Gue cuma nerima fakta kalo dia selalu ada buat gue, udah?"

Jevan menyeringai, bibirnya tertarik membentuk bulan sabit. "Lo aja gak tau kan kalo dia pernah ngegugurin anaknya?"

"Gue udah bilang gue gak tertarik."

Jevan tidak menghentikan suaranya. "Lo aja gak tau kan udah berapa cowok di sekolah ini yang pernah tidur sama dia?"

Seolah - olah emosinya terlahap habis, Gama menarik langkahnya, kakinya bergerak maju. Melenyapkan jarak diantara keduanya. Pemuda itu menarik kembali kerah seragam yang dikenakan lawan bicaranya, membuatnya terdongak menatap sosok yang lebih tinggi dan berisi darinya. "Lo bisa gak sih Van, gak ngurusin dosa oranglain?"

"Gue cuma mau lo tau, Gam!" Sahutnya. "Cewek yang lo kira baik itu bahkan bukan perempuan baik!"

Gama menjerit kesal. "Lo juga ngomong gini kan ke dia? Hah?!" Oktaf suara pemuda Aditya itu melanjung tinggi, melebihi nada bicara Jevan Abraham. "Lo juga ngomong kan ke dia kalo gue gak sebaik yang dia kira?!"

Jevan mengalihkan pandangannya. "Percaya lo sama cewek itu?"

"Jawab!" Pekik Gama, membuat beberapa warga yang berlalu - lalang melempar atensinya pada ricuh disekitar.

Jemari jenjang pemuda itu diraih oleh sang teman, seolah - olah meminta Gama untuk tetap tenang.

"Diem dulu, gue mau ngomong sama Jevan." Ujar Gama pada sang teman. "Gue nanya tadi belom dijawab."

Jevan melangkah mundur, seraya tubuhnya berbalik meraih ransel hitamnya. "Susah ngomong sama orang yang udah gila cinta." Cibir pemuda itu, seraya kakinya melangkah pada motor yang terparkir tak jauh darinya.

Kaki jenjang milik Jevan melangkah angkuh menuju motor tersebut, seraya bibirnya mengatup kata, bersuara. "Cabut."

Sementara Gama dibelakangnya, hanya mengedar pandang pada pemuda yang tidak ia sangka - sangka, menjadi alasan besar ia mengingkari janji yang ia tuai sendiri.

Janji, untuk tetap bersama sampai lulus.

Ia memilih untuk mengingkarinya.

Negeri SebelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang