30 : U ok?

169 16 0
                                    






















play a songs on the tab & change theme to black.














Drtttt. Drrrrt.

Incoming voice call, Felix Andrew.

Gadis itu bangun dari tidurnya, seraya jemarinya mengangkat telefon masuk tersebut. "H-halo?"

Dari ujung sana, sang empunya suara bertanya. "Sakit?"

"Iya, gak enak badan. Kenapa Lix?"

Samar - samar suara kendaraan yang berlalu - lalang membuat suara Felix nyaris tidak terdengar. "Gue kesana ya"

"Sama siapa?"

Pemuda itu meninggikan oktaf suaranya kemudian. "Sama Ambon!"

Gadis itu mengangguk. "Iyaudah, sini aja."

"Udah makan?"

"Belum."

"Dibawah kosan ada warkop kan?"

"Iya ada."

"Nanti gue beli disana aja ya, udah mau ujan." Ujar Felix. "Mau apa?" Dari ujung sana, suara pukulan mendarat pada tubuh pemuda itu. "Eey beta bodoh kali, di warkop ya cuma ada mie lah. Atau roti - rotian, kau tanya anak orang mau makan apa tapi kau belinya di warkop." Suara dengan nada khas itu tentunya milik Ambon. Pemuda yang juga Nakala kenal dengan baik, namun eksistensi Ambon memang jarang sekali muncul pada chapter hidupnya.

"Iya gapapa Lix, Mie aja." Ujar gadis itu.

"Serius gapapa?"

"Iya, kari ayam. Pakai telur ya."

Lagi - lagi, Ambon menimpali. "Ey Felix! Beta bodoh kali, orang sakit kau belikan mie, apa tidak keriting usus nona itu."

Felix berdecak kesal. "Berisik Bon ah." Sungutnya, lalu telefon tersebut terputus.

Sementara itu, ada gadis yang tidak berhenti tersenyum akibat kelakuan lucu keduanya. Gadis itu kemudian menatap layar notifikasi, melihat satu pesan tidak terbaca dari kontak sang rupawan.

 Gadis itu kemudian menatap layar notifikasi, melihat satu pesan tidak terbaca dari kontak sang rupawan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aerox hitam dengan selir biru itu berhenti disebuah apotek

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aerox hitam dengan selir biru itu berhenti disebuah apotek. Waktu sudah menunjukkan lewat maghrib namun hujan tidak juga kunjung berhenti.

"Ngapain?" Tanya Gama, sambil masukin hapenya ke kantong celana.

Juan turun dari motornya, terus balik badan untuk menanggapi pertanyaan sang kawan. "Anak gue demam, mau beli obat dulu" Ujarnya. "Kunci gue tinggal situ ya, awas jatoh"

Gama mengangguk, kembali sibuk main handphone lagi, terus ngejawab chat dari sang puan. Nakala laporan bahwa dirinya lagi sakit, tapi yang dapat laporan a.k.a Gama juga lagi ngurusin orang sakit, lebih tepatnya bayi sakit. Makanya jawaban dari Gama cuma sekedar begitu aja.

Sepuluh menit di tungguin, Juan gak keluar - keluar dari apotek. Gama bisa ngeliat dari luar temennya itu kebingungan banget, akhirnya dia turun, ikut masuk nyamperin Juan.

"Lama amat Ju."

Cowok itu langsung membenahi uang recehan di atas kasir, yang ngebuat Gama langsung faham alasan mengapa Juan lama banget didalam sini.

"Yaudah mba, paracetamol tablet aja satu."

Mendengar penuturan dari mulut Juan, Gama melotot. Mbak - mbak apoteknya udah judes banget, antrian dibelakang juga masih panjang. Cowok itu kemudian mukul pelan kepala sahabatnya. "Gila lo ya? Paracetamol buat anak lo? Dia bayi Ju, mati lah!" Seru Gama, tapi suaranya bisik - bisik pelan.

Juan senyum - senyum malu. "Obat sirup mahal, Gam." Ujar cowok itu sambil ngeberesin dompetnya, uangnya tinggal recehan lima ribuan.

Gama menghela nafas, pemuda itu merogoh saku belakang celana jeans-nya. "Ganti ibuprofen sirup sebotol mbak, yang botol kecil aja." Ujar cowok itu. "Jadi berapa?"

Sementara Juan dibelakangnya sibuk narik - narik lengan pemuda itu, berkata seolah - olah untuk gak perlu bantuin dia. Karena Juan yang bertanggung jawab penuh atas anaknya entah apapun yang terjadi, hal itu menjadi janji yang selalu ia pegang. "Gam.."

"Shtt. Diem ah!" Bentak Gama.

"80 ribu kak."

Pemuda Aditya itu kemudian ngeluarin uang seratus ribu dari dompetnya. "Ini mbak"

Sementara Juan masih narik - narik tangan pemuda itu.

"Makasih ya kak, kembalinya 20 ribu. Semoga datang kembali"

Keduanya melangkah keluar dari apotek, masih dengan wajah Juan yang penuh cemas dan porak poranda. Namun, seutas pertanyaan timbul dari bibirnya. "Kok lo tau sih obat - obat bayi gini?"

Gama ketawa. "Adek gue yang paling kecil kan 3 taun umurnya, Ju." Ujarnya. "Udah sering gue disuruh beli obat sama nyokap, tapi gak pernah gue beliin paracetamol buat adek gue tai." Cibirnya.

"S-sorry Gam, gue bingung. Gue gatau obat bayi lebih mahal daripada obat biasa. Nanti duit lo gue ganti deh" Ucap Juan.

Mendengar hal itu, Gama menggelengkan kepalanya. "Gak usah ilah. Berdoa aja supaya anak lo cepet sembuh." Ujar cowok itu, sambil nyodorin sebungkus plastik berisi obat ke hadapan Juan. "Nih."

"Gue yang megang?"

"Ya iyalah, bilang ke cewek lo kalo lo yang beli!" Seru Gama. "Masa bapaknya elo yang beliin obat gue?"

Pemuda berjagat Wijaya itu tertawa, ia menarik ujung bibirnya membentuk bulan sabit. "Thank you, Gam"

"Udah sini gue aja yang bawa motornya" Ucap Gama. "Lo duduk aja udah dibelakang"

"Gausah Gam, gue aja yang bawa. Kan gue yang minta temenin buat ke Jakarta, jadi harus gue yang bawa."

"Udah apa Ju, gue bilang gue aja." Pemuda itu kemudian menduduki motor matic tersebut. "Gue tau lo selama ini nyari kerjaan buat kayak gini ya ternyata?"

Yang diajak berkoneksi terdiam. Kakinya melangkah menduduki jok belakang motor tersebut. "Gue udah janji sama nyokapnya kalo gue bakal tanggung jawab atas anak gue, dan gue gak mungkin ninggalin pendidikan gue, Gam." Lirihnya, "Gue masih harus sekolah, gue laki - laki."

"Lo masih sayang sama cewek lo tapi?"

Juan terdiam. Manik sayu miliknya berkedip rayu. "Gue sayang, malu, kasihan, semua jadi satu." Ungkapnya. "Bokap gue udah gak ada, nyokap gue udah tua, kakak - kakak gue udah pada kerja, udah pada nikah. Dan gue anak laki - laki terakhir. Rasanya malu sama diri gue sendiri, bahkan cerita gini aja gue malu, gue tau gue gapunya apa - apa dan gak bisa apa - apa tapi sok - sokan tanggung jawab sama anak orang. Gue sayang sama dia, tapi ternyata gue sendiri yang ngancurin masa depan dia."

Sementara sang pengemudi menancap gas kian berlalu meninggalkan pelataran apotek tersebut, bersama seribu perasaan resah di lubuk hatinya. Fikirannya berkecamuk, bagaimana jika hal yang menimpa Juan, kian menimpa dirinya juga?

Bagaimana jika akhir dari segalanya, Gama hanya menghancurkan masa depan Nakala? Dan masa depan dirinya juga?

Negeri SebelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang