04;

39 6 9
                                    

Pelajaran hari ini tidak membosankan amat sebenarnya. Pak Bastian sibuk berbicara di depan sana, menceritakan perjalanan hidup Napoleon Bonaparte yang menurutnya banyak mendapat misleading dari beberapa pihak.

Kafka juga tak paham mengapa guru sejarahnya seperti sangat mengagungkan kaisar Prancis itu.

Suara serak Pak Bastian cuma jadi latar belakang untuk pikiran Kafka yang sekarang entah melayang kemana. Insiden tertabrak di perpustakaan kemarin sukses buatnya tak bisa tidur semalaman.

Bukan masalah buku biografi Ismail Marzuki yang tak jadi ia baca di akhir pekan ini. Bukan juga karena suara berdebum buku yang terdengar menyebalkan sampai pustakawan menegurnya saat ia menyerahkan kartu keanggotaan.

Jelas karena gadis itu.

Kafka yakin betul itu pertama kalinya ia bertemu dengan si gadis tapi entah kenapa rasanya sangat familiar. Wajah polos itu mengingatkan Kafka pada seseorang.

Tendangan dari belakang yang menendang kursinya buat laki-laki itu tersadar dari lamunan. Seluruh pasang mata di kelas 12 Sosial 1 tertuju sempurna padanya, tak terkecuali Pak Bastian.

Guru bongsor itu menatap Kafka tajam. Alisnya yang sudah memutih juga ikut tertekuk.

"Kamu kenapa Kafka? Mikirin cicilan?" sindir guru itu jenaka tapi ekspresinya sama sekali tidak jenaka. Beberapa murid cekikikan. "Kalau tidak mau ikut pelajaran saya, lebih baik keluar."

"Maaf Pak," ucap Kafka sesegera mungkin. Pemuda itu mengusap lehernya.

Pak Bastian hanya menggeleng lalu melanjutkan penjelasannya. Kini membicarakan tentang Napoleon yang mengenalkan konstitusi baru dan undang-undang yang memuat hasil penting revolusi.

Namun Kafka sama sekali tak peduli.

"Lo kenapa sih? Dari tadi pagi ngelamun mulu. Something happened?" bisik Kamal dari meja belakangnya.

Yang ditanya hanya menoleh sekilas lalu menggeleng. Menyatukan ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf O.

Pandangannya kembali mengarah keluar jendela. Memperhatikan kupu-kupu warna kuning yang masuk lewat celah jendela yang sedikit terbuka.

Tas gadis kemarin juga berwarna kuning cerah.

Ah .... Kafka ini kenapa?

Selama hidup ia sudah bertemu dengan banyak orang dan tak ada satupun yang pernah bawa efek sehebat ini. Apalagi untuk ukuran pertemuan pertama. Dia juga tak yakin akan bertemu gadis itu lagi.

Apa ini namanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Bagaimana bisa Kafka jatuh cinta sedangkan hatinya saja masih bertambat pada gadis itu? Atau dirinya memang ditakdirkan jadi pribadi yang mudah melupakan? Apa Tuhan sengaja buatnya tak terlalu berlarut-larut patah hati?

Patah hati ....

Laki-laki itu jadi teringat percakapannya dengan Jen kemarin pagi. Mungkin kebiasaan buruk ayahnya yang suka berlarut-larut dalam perasaan menurun pada Kafka. Ia menghela napas.

Jen berkali-kali bilang kalau kembarannya itu bodoh sejak ia memberitahu si perempuan kalau dirinya dan Saras resmi berpacaran. Tapi Kafka masa bodoh karena Jen memang hobi mengatainya.

Sejak gadis manis itu memutuskan hubungan mereka tepat di hari peringatan ke 2 tahun, Kafka menyetujui perkataan Jen. Lantas menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa buat Saras senang. Kali ini Jen memukul kepala pemuda itu sembari mengatainya dungu.

Jujur saja Kafka tak pernah tahu perasaan patah hati itu seperti apa. Selama ini yang ia rasakan hanya kekosongan dan kosong sama sekali bukan masalah, mengingat dirinya juga sangat suka dilingkupi kekosongan.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang