40;

19 3 0
                                    

Membingungkan untuk menamai situasi macam apa yang sedang menjebaknya kini.

Dengan tangan yang memegang erat kupon hasil memenangkan permainan di timezone tadi, gadis itu hanya diam waktu dihadapkan dengan laki-laki yang mengaku dirinya pesulap.

Mari pertegas lagi kalau Kalipso itu naif.

Ketika Kafka resmi pamit pergi ke toilet, tak berselang lama sampai laki-laki ini datang. Bisa dipastikan kalau dia bukan pria hidung belang yang sedang cari mangsa karena garis wajahnya terlihat lembut dan Kalipso tebak laki-laki ini masih berada di kepala dua.

Alih-alih merasa risi, gadis itu malah menunggu dengan sabar. Katanya si laki-laki tengah bersemedi agar trik sulapnya bisa berhasil, jadi ia memejamkan mata dengan tangan yang tersilang di dada.

Walau begitu Kalipso tetap manusia. Ia jadi tak sabaran karena laki-laki yang duduk di kursi depannya tak kunjung buka mata. Keningnya mengerut dalam, sadar tengah ditipu.

"Om, jadi sulap gak?"

Menahan batuk akibat tersedak ludah sendiri setelah mendengar Kalipso menyematkan honorifik 'Om'. Kelopak matanya sedikit terbuka kemudian melirik Kalipso sinis.

"Jangan ngomong dulu," titah si laki-laki sambil kembali terpejam. "Kalau semedi gue gagal nanti gak jadi sulap."

"Itu Om sendiri ngomong?"

"Berhenti panggil gue Om, bocah!"

Tak dapat dibohongi kalau harga dirinya terluka tiap kali dengar 'Om' yang ditujukan buatnya penuhi rungu. Laki-laki itu membuka mata, menatap Kalipso jengkel.

"Dengan lo manggil gue bocah berarti lo juga memvalidasi kalau lo udah tua," sanggah Kalipso. "Kamu sebenernya siapa sih, Om? Aku gak punya receh."

"Maksud lo, gue kesini mau minta-minta?"

"Emangnya bukan?"

Belum sempat membalas, kehadiran seseorang lerai pertikaian keduanya. Kafka berjalan mendekat dengan ekspresi sarat kebingungan. Menatap dua anak adam itu bergantian.

Waktu netranya bertabrakan dengan punya Mahesa, laki-laki yang lebih tua tersenyum jail sambil menaik-turunkan alis. Berharap Kafka akan terkejut dengan kehadirannya namun pemuda itu tak ambil pusing, memilih untuk duduk di kursi samping Kalipso.

"Ini Om nya kasih receh dong, Ka. Kasian daritadi gak pergi-pergi," pinta Kalipso langsung saat Kafka dudukkan diri sempurna di kursi. Sebabkan oknum yang dimaksud menekuk alis tajam.

"Stop panggil gue Om, bocah."

"Stop panggil gue bocah, Om."

Pemuda yang satu lagi tak banyak bicara, cuma perhatikan gerak-gerik keduanya. Tak menyangka kombinasi Kalipso dan Mahesa bisa jadi menyebalkan begini.

"Kenapa lo ada disini?"

Pertanyaan itu memecah tatapan intens keduanya. Mahesa alihkan perhatian pada pemuda Rahadinata. "Gak sengaja liat kalian tadi," sahutnya. "Dan gue tebak kalau bocah ini namanya Kalipso."

Kontan saja yang perempuan terkejut. Menoleh pada Kafka untuk meminta penjelasan.

"Temen gue," jelasnya. "Kalipso, ini Mahesa. Mahesa, ini Kalipso. Udah lo berdua jangan ribut lagi."

"Dia pesulap?"

Entah apa saja yang terjadi selama 10 menit dirinya pergi. Kekhawatiran Kafka meninggalkan Kalipso seorang diri memang bukan suatu hal yang pantas jadi bahan cemoohan karena gadis itu mudah diculik.

"Badut dia," sahut Kafka. "Kalian ngapain aja sejak gue gak ada?"

"Cielah cemburu, Bang?" cibir Mahesa semberi tersenyum menggoda. "Aman kok, kita gak macem-macem. Ya kan, Kal?"

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang