05;

48 5 14
                                    

Gadis itu tengah menyetem senar biola saat seseorang membuka pintu studio musik tanpa mengetuk lebih dulu.

Dalam keadaan biasanya, jelas ia akan mengomel karena seseorang masuk tanpa permisi. Terlebih fokusnya jadi terganggu. Kata umpatan juga sudah nyaris dilepaskan namun dengan cepat juga ditelan kembali.

Karena Elio yang menerobos studio musiknya.

Laki-laki itu berjalan menghampiri sembari menjinjing tas biola. Rambutnya yang sudah sedikit terlalu panjang menutup pandangan, buat jemarinya refleks menyugar rambut ke belakang kemudian menggeleng kecil.

Hari ini pun Elio terlihat menawan. Padahal hanya kenakan celana jeans juga kaus yang dibalut kardigan coklat.

Ini pertemuan kedua mereka. Seminggu terakhir ini, Elio selalu datang ke studio musik Regina.

Pemuda itu sedang mempersiapkan penampilan biola solo untuk acara awal tahun sekolah. Jadi ia meminta bantuan Regina. Si gadis juga sama sekali tak keberatan, kelewat senang malah.

Sebenarnya Regina pernah menjadi mentor grup musik di sekolah Elio sebelumnya. Pemuda itu pun sudah fokus pada biola sejak SMP.

Namun setelah Regina tak lagi membimbing karena sibuk mempersiapkan ujian masuk sekolah musiknya, Elio tak pernah melihat gadis itu lagi. Mereka bertemu kembali di toko musik Harmoni tahun lalu.

Usia mereka berdua terpaut 3 tahun, lebih tua Regina. Tapi si gadis acapkali menolak saat Elio menggunakan honorifik padanya. Katanya ia lebih suka dipanggil dengan nama tanpa perlu embel-embel 'Kak'. Elio juga menurut saja.

"Udah lama disini?"

Si gadis menggeleng sambil tersenyum, membalas senyuman Elio. "Baru dateng kok," ujarnya.

Padahal sudah sejak 2 jam lalu gadis itu menunggu. Tak bisa dibilang menunggu juga sih karena ia sendiri menyibukkan diri dengan membersihkan ruangan berukuran 6x6 meter ini.

Elio duduk di salah satu sofa tak jauh dari Regina. Gadis itu masih sibuk mengatur pitch senar terakhirnya sembari duduk di lantai.

"How's your new violin? Is it good?"

"Ini masih gue setem please, belum dicoba sama sekali." Gadis jangkung itu bangkit dengan biola di tangannya, berpindah pada sofa di depan Elio.

Dari jarak ini Regina bisa mencium parfum laki-laki di depannya. Aromanya terasa hangat dan ada sedikit hint amber.

Seumur hidupnya, Regina tak pernah tahu kalau aroma parfum saja bisa membawa efek menyebalkan seperti ini. Konyol bukan saat perutnya tiba-tiba terasa aneh hanya karena disuguhi aroma yang padahal terasa sangat familiar.

"Bow nya udah digosok rosin?"

"Hm?"

Gadis itu mendadak linglung. Pertanyaan Elio malah buat kewarasannya hilang sekejap, jemarinya yang tadi terampil memutar dryer biola kini malah bingung harus berbuat apa.

"Lo kenapa kayak bingung gitu sih?" Elio terkekeh.

"Bingung gimana?" dalih Regina. Ia melepas tuner clip. "Udah digosok rosin kok," katanya lagi. Memetik senar, memastikan pitch-nya sudah sesuai.

"Jadinya Spring Sonata?"

Yang ditanya mengangguk. Elio mengeluarkan biola dari tasnya. "Gue sebenernya mau nyesuain sama judul dramanya, tahun ini mereka mau bawain A Midsummer Night's Dream."

"By Shakespeare?"

Elio mengangguk lagi. Pemuda itu menggosokkan bow biolanya dengan rosin. "I thought Eine kleine will suits well since the genre of drama is comedy, orang-orang juga pasti lebih familiar sama musik itu."

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang