25;

14 1 0
                                    

Beberapa tahun lalu, Kafka pikir rumah sakit jadi rumah keduanya.

Bunyi elektrokardiograf jadi hal yang lumrah sapa pendengaran setiap saat. Ibunya yang terbaring tenang di atas ranjang jadi hal familiar walau Kafka tak pernah tenang kapanpun dokter dan perawat berlarian masuk ke ruangan–ada situasi genting katanya.

Kalau sudah begitu doa jadi satu-satunya hal yang bisa dibayangkan. Memohon harapan bisa terkabul semudah penyihir merapal mantra.

Boleh jadi bukan cuma dia yang suka melayangkan harapan buat kesembuhan ibunya.

Lorong-lorong, langit-langit, juga tiap sudut rumah sakit terasa penuh harapan manusia yang mungkin sudah putus asa atau manusia yang masih berharap padahal tahu kalau harapannya tak lagi bermakna.

Terbiasa dipenuhi sesak oleh angan-angan tentang kehidupan yang lebih panjang, rasanya aneh karena kini Kafka bisa hela napas lega.

Tak ada lagi angan yang buat sesak.

Hanya tempat peristirahatan para raga tanpa jiwa yang entah dimana mereka. Mungkin tengah berkelana, mungkin juga merasa lega karena akhirnya tak ada lagi sakit yang ciptakan siksa.

Pun ia turut bergembira karena tak perlu lagi lihat ibunya yang menangis di tengah tidurnya. Tubuh ibunya yang ditempel banyak sekali jenis kabel. Juga helaian rambut ibunya yang jatuh berantakan di lantai dan tempat tidur akibat kemoterapi.

Setidaknya Mama bisa istirahat dengan tenang.

Hari ini Kafka bawa setangkai anyelir merah–karena konon katanya melambangkan cinta dan kasih sayang. Dalam balutan seragam kebanggaannya, pemuda itu duduk di sebelah nisan yang sudah mulai usang.

Mama yang selalu bertandang ke dalam mimpi beberapa malam terakhir buatnya banting setir dari destinasi utama. Berusaha mengabaikan teman kelas dan guru yang mungkin tengah menanyai dirinya saat ini.

Barangkali stereotipe manusia yang bilang betapa menyeramkannya tempat manusia tak berjiwa istirahatkan raga ini jadi alasan utama terik matahari jam 9 pagi tak sama sekali timbulkan sensasi menyengat.

Alih-alih menyeramkan, Kafka malah temukan kedamaian.

Seolah jiwa-jiwa yang tak bisa ditangkap matanya beri penyambutan dengan sengaja ubah arah angin sepoi jadi tertuju ke arah si pemuda. Dibuat nyaman agar bisa lebih lama bersua bersama sang ibunda yang tak lagi bisa digenggam tangannya.

Kendatipun tidak ada yang terucap secara lisan, Kafka mampu habiskan waktu hanya untuk pandangi makam ibunya yang cantik disertai setangkai bunga anyelir.

Kalau saja sang ibu tak alergi pada serbuk sari, mungkin pemuda itu bisa bawa satu buket yang besar.

Tangan si laki-laki bergerak mengusap nisan yang terlihat lebih pudar dibanding 5 tahun lalu. Debu-debu yang ada jadi berpindah pada ujung-ujung jemarinya.

Wajar saja jika wanita malang ini rindukan buah hati yang dicintainya setengah mati karena waktu selalu berhasil rebut perhatian insan terkasihnya.

Kalau dulu Kafka selalu berkunjung setidaknya seminggu sekali, kini sebulan sekali pun tak masuk hitungan. Pemuda itu pikir, lihat potret mendiang sang ibu dalam figura besar yang terpampang di ruang keluarga sudah lebih dari cukup untuk ukir rapi sosoknya dalam ingatan.

Mungkin karena itu juga, segalanya jadi perlahan terlupakan.

Bagaimana bisa ia melupakan suara lembut yang selalu bergaung di telinga selama 13 tahun hidupnya?

Sedang menyelami pikirannya kala kehadiran seseorang halangi matahari yang sebelumnya menyorot tepat di muka, lamunan si pemuda jadi buyar.

Matanya temukan Jen yang berdiri menjulang di hadapan. Air mukanya datar dan sedetik kemudian ikut duduk, menatap lurus pada ukiran nama di atas nisan.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang