Ada sesuatu yang terasa familiar sekitar pukul 4 petang di jalan menuju tempat makan.
Harusnya terasa familiar karena bukan kali pertama. Kendati begitu, yang kali ini sama sekali berbeda.
Playlist yang diputar masih sama, pengharum mobil masih yang seperti biasa, hanya saja seseorang di bangku sebelah kirinya yang berbeda. Tapi Kafka seperti mengalami sesuatu yang baru.
Bukan Risaras Widjaya yang bawel menceritakan pesta bersama teman-temannya atau mengeluhkan jadwal les dan pemotretan-nya yang bertabrakan.
Cuma Kalipso yang penasaran kenapa kartu keluarga berbentuk surat sedangkan surat izin mengemudi malah berbentuk kartu.
Pertama kalinya hal sesederhana itu mampu buat perasaan Kafka naik hingga batas maksimal.
Saat Kalipso tertawa karena menemukan jawaban atas hal bodoh yang ia pertanyakan, rasanya Kafka ingin mengumpulkan seluruh konstelasi agar malam gadis manis ini tidak kelam.
Jelas saja penyebabnya bukan karena keterkaitan antara Saras dan Kalipso seperti yang Jen bilang.
Karena ini Ivona Kalipso.
Ivona Kalipso yang tak perlu susah payah mendapatkan hati Kafka. Pemuda itu akan dengan senang hati memberikan segala yang ia punya. Ivona Kalipso yang tertawa lepas hanya karena candaan jayus Kafka. Suara tawanya terdengar seperti kidung surga.
Bukannya hiperbola namun faktanya memang begitu–setidaknya buat Kafka.
Kafka tak punya jawaban yang lebih masuk akal jika ditanya kenapa bisa jatuh cinta. Memang dasarnya Kalipso sudah buat dirinya gila sejak pertemuan pertama di perpustakaan hari itu.
Gadis itu juga seperti sengaja merawat baik-baik benih yang ditanamkan di hati Kafka. Membiarkan perasaannya berkembang seiring waktu dan buat Kafka tak peduli jika Kalipso ternyata tak rasakan hal serupa.
Yang jelas, dia jatuh cinta.
Logikanya berkata seperti itu walau sebenarnya ada kontradiksi dengan hatinya sendiri.
Biasanya Kafka tegas jika menyangkut perasaannya dan entah kenapa kali ini terasa menyesatkan. Rasanya seperti terjebak dalam labirin tak berujung.
Justru karena ini Ivona Kalipso.
Gadis itu membawanya bernostalgia pada sesuatu. Kafka tahu betul, ada sesuatu yang buatnya merasa ingin selalu mendekap Kalipso dan hal itu yang buat pikirannya berkecamuk.
Rasanya salah dan ia sendiri tak tahu dimana letak salahnya.
Logika dan hatinya seakan saling tarik. Memperdebatkan siapa yang paling benar dan bahkan Kafka juga meragukan jawabannya sendiri.
Pemuda itu menghela napas, mengeratkan jemarinya pada setir mobil.
Diluar hujan menghantam bumi cukup deras, ditambah jalanan lumayan padat sore ini. Buatnya sedikit menyesal karena bawa Kalipso terjebak di kemacetan.
Tapi tampaknya gadis itu tak mempersoalkan sama sekali. Kini sibuk menikmati kue sus buatan Kafka dengan perhatiannya yang dibuang keluar jendela.
"Udah laper, ya?"
Pertanyaan Kafka tarik atensi Kalipso. Gadis itu menoleh. Vla berantakan di sudut bibirnya, ia menggeleng.
"Engga kok. Kan ada ini," katanya sambil menunjuk satu box kue sus di pangkuan. "Mau?"
Kalipso menyodorkan kue sus yang punya bekas gigitannya walau sedetik kemudian tersadar.
Hendak mengganti dengan kue lain yang masih utuh namun Kafka lebih dulu memajukan wajah, melahap sekaligus sisa kue yang disodorkan hingga jari Kalipso sedikit masuk ke dalam mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Try Again
Fanfiction"Kita ini sebenernya apa?" Mungkin harusnya Kalipso tanyakan itu pada Elio setidaknya sehari sekali buat cari validasi tentang hubungan mereka yang tak tahu harus dilabeli sebagai apa. Karena pengakuan kurang ajar Elio baru terdengar waktu dirinya s...