39;

22 5 0
                                    

Terkadang Kalipso rasa dunia berjalan terlalu cepat sampai tak beri celah untuk biarkan sisa-sisa atmosfer yang lalu bertahan sedikit lebih lama. Walau ia tahu betul itu adalah bentuk sayang Tuhan pada dirinya karena tak ingin buat berkabung terlalu lama.

Kalipso sadar dirinya terlalu kecil untuk memaki dunia yang masih berjalan seperti biasanya sedangkan ia masih terjebak dalam bayang-bayang, bahkan hingga kini sudah nyaris dua minggu terlewati.

Bukan dalam konotasi negatif, cuma berusaha simpan rapi semuanya agar Elio tak mudah dilupakan.

Memoles liptint berwarna coral sebagai sentuhan terakhir, Kalipso pandangi pantulan dirinya di cermin meja rias.

Pertama kalinya setelah sekian lama gadis itu kenakan pakaian terbaik pun berikan warna yang pertegas wajah manisnya. Jelas ia tak mau kecewakan Jen yang mengajak piknik di taman flamboyan sore ini.

Kalipso hafal Jen yang selalu usaha bantu dirinya bangkit dan sudah seharusnya Kalipso juga tunjukkan usaha yang sama.

Perhatiannya teralih pada jepit rambut Baymax yang terselip apik di dekat pelipis. Aneh karena ia tiba-tiba menemukan jepit rambut itu terselip dalam sakunya padahal Kalipso 100 persen yakin kalau ia sudah cari disana dan hasilnya nihil.

Mungkin itu juga yang jadi alasan si gadis merasa cantik sore ini – karena Elio bilang Kalipso cocok gunakan jepit rambut yang itu.

Senyum yang mengembang otomatis menghilang saat dengar ketukan. Pintu yang terbuka lebar langsung tunjukkan sosok Mada yang melongok ingin tahu.

"Kakak .... mau pergi."

Intonasi yang awalnya berupa tanya berubah jadi pernyataan setelah lihat penampilan si sulung yang rapi. Tanpa perlu jawaban pun Mada tahu kalau kakaknya memang akan pergi. Ia mengurungkan niatnya, hendak melangkah pergi tapi Kalipso menahan.

"Kenapa?"

Tubuhnya dibawa kembali, bersandar ragu pada daun pintu. Pemuda itu mengulum bibir sejenak walau kemudian menggeleng.

"Nanti aja," sahutnya. "Have fun, Kak."

"Sekarang aja," tahan Kalipso lagi. "Kenapa, sih?"

Selain tingkah Mada yang ragu-ragu, tas kecil berwarna putih yang dibawa si bungsu buat Kalipso penasaran setengah mati. Gadis itu menyelisik hingga akhirnya Mada pasrah, masuk dan duduk di tepi ranjang.

"Aku mau kasih ini," ujarnya sambil menjulurkan tas.

Dapat dipastikan ekspresi yang terpancar dari Kalipso adalah bingung. Dahinya mengerut samar dengan mata yang beberapa kali mengerjap.

"Dalam rangka apa? Ulang tahun aku udah lewat."

"Ini bukan dari aku," cicit Mada pelan. Bimbang harus melanjutkan apa tidak namun netra Kalipso yang berusaha meyakinkan buat dirinya luluh juga. "Kak Elio titipin ini ke aku," katanya lagi. "Buat Kakak."

Kalimat terakhir Mada tarik Kalipso mendekat. Gadis itu mendudukkan diri di samping adiknya, menuntut penjelasan lewat tatapan mata.

"Aku ketemu dia di minimarket depan. Udah lama banget," papar Mada. "Dia minta aku kasih ini kalau Kak Elio udah jauh sama Kak Ipo. At first I've got no clue about what he talking about but now I realized."

Tas yang sedari tadi dipegang kini dipindahtangankan. Mada menaruh tas kecil itu dengan hati-hati di pangkuan Kalipso, seolah isinya adalah telur emas yang harus dijaga.

"Sumpah aku gak pernah buka dan gak pernah tau apa isinya," sambung Mada lagi. "Aku cuma perlu kasih ini ke Kak Ipo dan tugasku selesai."

Pemuda itu bangkit, memandang kakaknya yang juga melihat padanya. "Mendingan Kak Ipo buka isinya nanti. Aku gak tanggung jawab buat hal apapun, I just delivered it."

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang