10;

46 6 7
                                    

Perhatian Elio fokus penuh pada layar ponsel. Mangkuk dan gelas kosong tersaji di depannya, pemuda itu tengah mengulum gula-gula setelah menghabiskan satu porsi besar ramen.

Posisi mejanya tak jauh dari pintu masuk, buatnya jadi mudah mengamati siapa saja yang berlalu-lalang lewat pintu. Namun dia sama sekali tak tertarik, tak ingin tahu juga siapa saja yang masuk atau keluar kedai. Sibuk menonton streaming pertandingan basket di ponsel sambil menikmati makan siang–atau sore?–nya.

Pemuda itu masih tak berkutik saat pintu kedai kembali terbuka untuk yang ke 17 kalinya sejak ia duduk disitu. Kali ini juga dia tak peduli sama sekali.

Setidaknya Elio pikir begitu.

Setelah tak sengaja cium aroma parfum bunga yang khas, rasa penasarannya muncul. Ia tahu betul pemilik aroma parfum ini tentu saja bukan hanya si gadis sebelah rumah, tapi pemuda itu kepalang mengangkat kepala. Mengedarkan pandangannya.

Dan benar saja.

Gadis berambut sebahu dengan kardigan berwarna merah muda lembut masuk radar penglihatannya, bersama seorang laki-laki yang Elio lihat kemarin lusa. Keduanya duduk di area sudut, sedikit jauh dari meja Elio namun masih bisa terlihat.

Dilihat dari belakang pun Elio sangat yakin gadis itu adalah Kalipso. Perawakannya sangat khas ditambah parfum yang menyapa penciuman Elio sebelumnya.

Pertandingan basket di ponselnya jadi tak lagi terasa menarik. Pemuda itu merapikan barang-barangnya di atas meja lalu melangkah, mendekati dua anak adam itu.

Harusnya tak masalah, kan? Lagipula mereka memilih meja berkapasitas empat orang, seperti mempersilahkan Elio untuk bergabung.

Pemuda di depan Kalipso terlihat bingung saat Elio mendekat kemudian berhenti tepat di belakang Kalipso yang duduk membelakangi. Belum sempat bertanya, Elio sudah lebih dulu menepuk pipi si gadis dari belakang.

Kalipso yang terkejut spontan saja menoleh, sedikit mendongak. Matanya langsung berbinar sambil tersenyum riang saat temukan Elio berdiri di belakangnya dengan tas tersampir di sebelah bahu.

"Hei," sapa si gadis riang. "Sini sini," ajak Kalipso, menepuk kursi kosong di sebelahnya. "Lo mau makan juga?"

Elio menggeleng. Menarik kursi kemudian mendudukkan diri, menaruh tasnya di lantai. "Gue udah," katanya. Pandangannya kini beralih pada Kafka. "So? Who's this businessman?"

Kafka menjulurkan tangan. "Kafka Soe," katanya memperkenalkan diri. "Bisa panggil Kafka."

Tangannya tak langsung disambut, Elio menelisik wajah di depannya lebih dulu kemudian tersenyum. "Elio," ujarnya sambil menjabat tangan Kafka. "Elio Gideon."

Kalipso bertepuk tangan kecil. Entah kenapa tiba-tiba merasa senang. "Ka, ini Elio tetangga gue. El, ini Kafka temen gue."

"Udah temenan aja, nih?" sindir Elio tapi si gadis malah mengangguk semangat.

"We're friend since day one," celetuk Kalipso. "Lo tau gak sih, El? Kafka kembar dampit. Kembarannya cewek which is gak aneh tapi bagi gue aneh karena baru pertama kali ketemu orang kembar beda jenis, biasanya kan–"

"Beda jenis gimana? Kan kembarannya juga manusia?" sela Elio dengan kening mengerut. Sedangkan Kafka hanya menahan tawa.

"Beda jenis kelamin anjir maksudnya," jelas Kalipso. "Terus Kafka pinter. Gue hari ini baru tau kalau ternyata bekas air di atas meja gara-gara gelas dingin atau basah itu disebut kulacino dan asal katanya dari bahasa Itali."

Elio mendecih pelan.

Siapa juga yang tak tahu istilah kulacino itu?

"Tadi kita abis belanja keperluan buat properti, sekalian beli perlengkapan lukis di rumah. Barang gue banyak bang–"

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang