35;

21 3 0
                                    

Biasanya Elio mahir dalam memahami sesuatu. Ia tahu otaknya cemerlang pun tak perlu kerahkan seluruh tenaga hanya untuk memahami soal yang andalkan logika.

Kendati sudah takdirnya kalau selalu terselip cela dalam sempurna. Pemuda itu mendadak jadi dungu kalau mengorelasikan diri dengan naluri.

Masih belum terpikir dalam benak saat memacu motornya membelah jalanan sebelum jam makan siang. Hingga kini motornya berhenti tepat di depan gerbang yang tampak familiar itu, Elio cuma bisa bergeming.

Benar-benar tak habis pikir tentang pilihannya bersambang ke rumah ini setelah habiskan dua bulan terakhir di kamar apartemen yang dingin.

Kedatangannya juga bukan tanpa alasan, pesan dari ayahnya yang mengatakan akan pulang pagi tadi cukup untuk Elio pilih bangkit dari kasurnya daripada lanjutkan tidur sampai malam tiba.

Motornya terparkir sempurna di depan gerbang sedangkan si empunya tak sedikitpun bergerak. Masih sibuk pandangi pagar hitam yang menyembunyikan rumah di baliknya dengan sempurna.

Dalam diam, benaknya menebak bagaimana rupa rumah di balik pagar besar ini. Bisa dipastikan banyak dedaunan kering di seluruh pelataran rumah, juga lantai yang berdebu luar biasa.

Matanya kini tertuju pada jendela di lantai dua yang tertutup rapat.

Seperti adegan kilas balik dalam film, bayangan gadis yang tengah sibuk rawat si pemilik kamar tiba-tiba muncul di benak. Visualisasinya terbatas karena kesadarannya direnggut demam tapi Elio bisa bayangkan kala sinar matahari beri pantulan hangat pada wajah manis itu.

Kalipso, ya?

Argumen orang-orang tentang dirinya yang hanya jadikan Kalipso sebagai pelampiasan mungkin bisa dibenarkan. Elio kini cukup tahu diri untuk tak tiba-tiba menghampiri hanya untuk sekedar cari pelukan.

Mungkin salahnya juga karena menahan terlalu lama dan malah buat segalanya jadi terasa sesak.

Pemuda itu menghela napas panjang. Kepalanya refleks menoleh, ingin melihat gerbang rumah yang selalu jadi tempat singgahnya sejak empat tahun terakhir, walau detik kemudian matanya fokus pada sesuatu.

Si sulung pemilik rumah muncul dari sana, hendak menutup rapat gerbang namun tubuhnya juga ikut membeku kala menangkap sosok Elio.

Seperti sebelumnya, presensi Kalipso lagi-lagi buat darah Elio berdesir. Berterimakasih pada Tuhan, takdir, atau apapun itu yang masih berinya kesempatan untuk lihat gadis itu setelah sekian lama.

Kedua sudut bibirnya terangkat tinggi, menyapa Kalipso yang perlahan ikut tersenyum. Binar yang diberi terasa sama meski dilihat dari kejauhan dan Elio menahan agar tak berlari menghampiri demi sebuah basa-basi.

Maka pemuda itu jadi yang pertama putuskan pandangan, membuka kunci gerbang sebelum bawa masuk motornya.

Tanpa menoleh lagi pada Kalipso sama sekali.

.

.

Hujan yang menabrak kaca jendela buat ruangan minim penerangan itu jadi terasa mencekam, tapi si penghuni tak terusik sama sekali.

Berniat habiskan sisa siang di akhir pekan ini dengan rampungkan lukisannya yang terabaikan sejak minggu lalu. Tangannya menyortir tube cat dalam kotak walau sebenarnya tak berguna sama sekali.

Pasalnya si gadis tak benar-benar menyortir, tangannya meraih asal sedangkan pikirannya entah kemana. Niatnya melukis juga dilakukan semata sebagai pengalih perhatian namun tampaknya hasil yang diberikan tak memuaskan.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang