37;

25 6 0
                                    

Kaki Kalipso menghentak kecil ke lantai. Kegembiraannya datang semudah lidah yang disapa rasa manis jus alpukat. Sepiring Siomay yang masih sisa setengah kini terlihat menyedihkan karena diabaikan oleh si gadis, seakan tak ada yang lebih menarik daripada segelas jus alpukat di hadapannya.

Suasana kafetaria yang ramai buat pandangan gadis itu mengedar dengan liar. Mata bulatnya berlarian seperti balita yang baru pertama kali datang ke taman bermain, sibuk perhatikan orang-orang yang sama sekali tak taruh atensi padanya.

Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, presensi Kalipso bisa ditemukan di sudut kafetaria seorang diri.

Walau sebenarnya hati gadis itu sudah melunak.

Ia berniat mengajak Jen ke kafetaria saat bel berdering tadi, namun kawannya itu merebahkan kepala di meja dengan buku sejarah yang menutup wajah –tertidur.

Lagipula waktu istirahat yang hanya 30 menit jelas tak akan cukup untuk bangun kembali dan buang segala canggung yang meliputi hubungan mereka sejak sebulan terakhir. Mungkin Kalipso harus cari waktu selepas pulang sekolah nanti sambil berharap Jen tak lebih dulu pergi.

Jus yang nyaris tandas diaduk pelan oleh sedotan merah yang bertengger sedari tadi. Netra si gadis fokus perhatikan permukaan gelasnya yang meninggalkan kulacino hingga perhatiannya teralih saat seseorang menghampiri mejanya.

"Boleh duduk disini?"

Setya berdiri sambil membawa nampan berisi semangkuk bakso dan sebotol air putih. Tanpa perlu berpikir panjang, yang diberi pertanyaan langsung beri anggukan, buat Setya kontan taruh nampannya di atas meja.

"Jen kemana?"

Bukannya menjawab, mata gadis itu malah menyipit sambil tersenyum jail. "Cie nanyain Jen."

"Yeu." Setya mencibir. "Lo berdua kan nempel mulu kayak perangko. Aneh liat lo sendirian begini."

"Apa iyah?"

Kerlingan usil Kalipso hanya dibalas dengusan kecil, pancing tawa dari si perempuan. "Dia lagi tidur di kelas," sahut Kalipso akhirnya.

Pemuda di depannya cuma mengangguk sambil mengaduk bakso kemudian melahap hidangan itu dalam diam.

Hiruk pikuk dan suara obrolan di sekitar meredam keheningan yang ada diantara dua anak adam itu.

Kalipso masih memainkan sedotan di gelas minuman sampai matanya perlahan naik, mengejar netra Setya yang tengah perhatikan sesuatu di belakangnya. Walau sedetik kemudian bergulir jadi menatap Kalipso lurus, sebelah alisnya terangkat.

"Gue kemaren ketemu Elio," ucap Kalipso ragu. "Ngasih tau aja, sih. In case you haven't met him yet."

"Serius?" Setya membelalak bahkan tubuhnya sedikit condong ke depan. "Dimana?"

"Rumahnya," jawab si perempuan. "Grand Kencana."

Sadar karena beri reaksi berlebihan buat Setya kembali tarik tubuhnya. Basahi tenggorokannya yang terasa panas karena hampir tersedak sebelum hembuskan napas lega.

"I'm hopeless," akunya kemudian. "Semua chat gue belum ada yang dibales dan dia gak muncul sama sekali waktu gue dateng ke apart dia kemaren lusa."

Perasaan bersalah perlahan menggerayangi hati Kalipso. Entah kenapa tiba-tiba jadi tak tenang karena ia tak langsung menghampiri Elio saat mereka bertemu lagi kemarin.

Mungkin beberapa obrolan singkat mampu buat tetangganya itu merasa lebih baik –karena Kalipso tahu betul Elio jauh dari kata baik. Ia diam-diam meneguk ludah.

"He wasn't looks fine tho," lirih si gadis. "Harusnya kemaren gue sapa dia but .... I don't know. Rasanya bakal aneh setelah apa yang terjadi antara gue sama dia."

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang