08;

40 5 14
                                    

Diantara jajaran ruko sepanjang jalan depan kelenteng, toko buku Kung Chen jadi tempat kesayangan Kalipso untuk pijakan kaki. Bukan untuk beli buku, gadis itu lebih suka mengobrol dengan si pemilik toko.

Pemiliknya seorang Cina berusia 60-an. Namanya Chen Lin tapi lebih suka dipanggil Akong. Tokonya menjajakan buku-buku lama juga buku-buku bekas–yang mana bukan selera Kalipso sama sekali, mengingat gadis itu lebih suka buku fiksi.

Tapi si gadis tak pernah bosan datang kesini. Ia senang saat disapa para pemilik toko di area ruko itu yang kebanyakan adalah lansia.

Bahkan pemilik toko barang bekas di samping toko Kung Chen pernah memberi Kalipso sebuah guci keramik antik setelah gadis itu bilang tertarik pada benda antik.

Si pemilik toko bilang guci itu adalah guci wasiat dan Kalipso harus menjaganya dengan baik. Ia setengah tak percaya walau akhirnya menurut saja. Buat bundanya bingung saat lihat anak sulungnya itu membawa pulang guci antik yang sepertinya berharga tinggi jika dijual.

Saat Kalipso datang pagi ini, Akong sedang sibuk membetulkan rak buku yang rusak penyekat kayunya. Awalnya si gadis menawarkan bantuan namun kakek itu menolak, berakhir dengan dirinya yang duduk di meja kasir sambil makan mantou, hanya perhatikan Akong yang membelakanginya.

Namun kemudian si kakek mengomel setelah kesusahan memasang baut tapi Kalipso tak berinisiatif untuk membantu. Kalipso yang tak terima disalahkan juga membela diri walau akhirnya menurut saat diminta memegang senter.

"Beli yang baru aja, Kong. Ngapain susah-susah benerin?" saran si gadis yang aslinya ingin mengeluh. Pasalnya ini sudah nyaris satu jam dan Akong belum selesai juga.

"Kamu yang beliin, ha?" tanya Akong tanpa menoleh, masih sibuk memasang baut.

"Boleh. Asal dikasih uangnya," sahut si gadis, buat Akong mendecak.

Perhatiannya tertarik lagi pada mantou di meja yang masih tersisa tiga. Tangannya terulur, berusaha meraih roti kukus itu yang tak jauh dari jangkauannya. Tapi pergerakan Kalipso buat senter di genggamannya bergerak tak karuan hingga cahayanya mengenai mata Akong. Kakek itu sontak menyipit karena silau.

"Pegang yang benar itu senter!" omelnya. Menoleh pada Kalipso yang juga melihat ke arahnya dengan sebuah mantou di tangan.

"Iya iya," sahut si gadis sambil kembali mengarahkan senternya. "Marah-marah mulu, cepet tua loh, Kong."

"Kamu bilang saya tua, kah?" jengkel Akong. Alisnya yang beruban menekuk tajam.

"Kan emang udah tua?"

Kakek itu cuma mendengus lalu kembali melanjutkan kegiatannya.

Kalipso beralih melihat ke luar jendela, memperhatikan pemilik toko mebel yang sedang memindahkan kardus-kardus dari mobil pengangkut ke pelataran tokonya. Ia melambaikan tangan saat pria itu melihat ke arahnya, hanya dibalas senyuman karena kedua tangan si pria sibuk membawa kardus.

"Selesai juga," ujar Akong.

Kakek itu berdiri dari kursi yang sedari tadi ia duduki. Memutar pinggangnya, ciptakan suara 'kretek' nyaring. Si remaja mematikan senternya sambil mengernyit, ngeri.

"Hati-hati rontok tulangnya, Kong." Celetukannya spontan undang tepukan kecil dari si kakek. Kalipso hanya menyengir, pandangannya kembali pada seseorang di luar sana sembari menggigit roti kukus di tangannya. "Pak Burhan itu umurnya berapa deh?"

Akong menoleh pada Kalipso lalu mengikuti arah pandang si gadis sekilas. "Dia beda dua tahun sama saya," sahutnya sambil merapikan perkakas. "Saya 63 dia 65."

Kalipso tersedak ludahnya sendiri. Ia terbatuk beberapa kali sebelum melihat ke arah Akong dengan mata yang mendelik, seperti tak menerima fakta.

"Kenapa Akong lebih keliatan tua? Pak Burhan awet muda dan Akong udah kayak kakek-kakek?!"

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang