29;

29 1 0
                                    

"Can you meet me in the lounge now?"

Pesan yang masuk ponselnya sejak 15 menit lalu itu berhasil distraksi Kafka. Pikirnya ada hal mendesak sampai Saras mengirimnya pesan di tengah jam pembelajaran.

Mr. Anton berikan izin Kafka untuk pergi waktu pemuda itu beralasan tubuhnya sedang kurang sehat. Tinggalkan ruang musik dengan tertatih walau saat kakinya sudah berpijak di luar ruangan, ia mempercepat langkah.

Entah apa yang buat Kafka langsung ambil langkah cepat. Mungkin karena lembar partitur yang terlihat membosankan, mungkin juga karena anggapannya tentang Saras yang sedang dalam keadaan darurat.

Walau opsi yang kedua patut diragukan.

Tak ada kemungkinan 'keadaan darurat' yang bisa dibayangkan Kafka jika mengingat Saras mengajaknya bertemu di ruang santai. Lagipula, keadaan darurat seperti apa yang mengharuskan gadis itu menghubungi Kafka alih-alih teman-temannya yang lain?

Tangan Kafka membuka pintu ruangan dengan cepat kemudian masuk dengan sedikit berlari. Jelas saja tak ada siapapun disana, jam pembelajaran belum usai.

Kepalanya celingukan ke segala arah, mencari Saras. Baru saja hendak bertanya dimana posisi spesifik si gadis, matanya lebih dulu menangkap punggung seseorang yang duduk di lantai dekat rak buku.

Tanpa menebak pun Kafka sangat mengenali punggung itu. Lantas membawa langkahnya mendekati si gadis.

Saras tampaknya tak menyadari kehadiran Kafka. Hingga saat pemuda itu menepuk pelan pundaknya, ia tersentak kecil.

"Sorry," pinta Kafka. Merasa bersalah karena mengejutkan Saras. "What's going on?"

Tak langsung menjawab. Saras kembali membuang pandangan ke jendela besar di depannya yang menghadap ke arah lapangan utama. Memperhatikan siswa-entah kelas berapa-yang tengah bermain kasti.

Sadar pertemuan mereka tak akan berlangsung sebentar, Kafka ambil tempat di sebelah si gadis. Duduk bersila pun ikuti arah pandang Saras.

Setelah tadi gelisah karena sibuk menebak-nebak segala kemungkinan buruk, kini malah menyesali keputusannya datang kesini. Seakan tak belajar dari yang sudah-sudah, Kafka harusnya tahu mungkin saja Saras punya maksud lain seperti di pertemuan mereka yang terakhir kali.

Namun pemuda itu menggeleng. Bisa saja yang kali ini benar-benar mendesak, jadi tak seharusnya ia menghakimi.

"Sorry for bother you tapi gue beneran gak tau harus minta tolong ke siapa."

Suara Saras yang kelewat lirih jadi indikasi kalau sepertinya memang ada hal mendesak yang terjadi. Kafka menoleh, mendapati pipi Saras yang basah namun tak berbuat apa-apa.

Gadis itu kemudian menunduk. Memilin ujung roknya yang jatuh dua senti di atas lutut. "I asked Gabriel for break up but he won't," paparnya. "Ada beberapa hal yang bikin gue gak bisa lebih lama lagi sama dia, I hate him."

Bukannya merasa iba, Kafka justru mengerutkan keningnya. Tak tahu harus bereaksi seperti apa. Kalau ada Jen mungkin gadis itu sudah sibuk mencemooh Saras dan saat ini Kafka berharap ia juga punya cukup keberanian buat keluarkan semua isi hatinya yang tertahan di tenggorokan.

Tapi yang diekspresikan hanya helaan napas samar. Ia kembali melihat keluar jendela. "Kenapa gak minta tolong ke Mama lo?"

Pertanyaan Kafka sangat menohok. Saras tahan isakan mati-matian dengan gigit bibir bawahnya kuat sampai ia bisa rasakan amis yang sapa lidahnya.

"Ada sesuatu yang bikin gue gak bisa bilang ke Mama."

"Well, I can help kalau lo sendiri gak bisa bilang ke nyokap lo," final Kafka.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang