17;

35 2 0
                                    

"Woy!"

Seruan itu membuat Kafka yang tengah terpejam di driver's seat jadi tersentak. Dengan mata setengah terbuka, ia menoleh pada Jen yang sudah duduk rapi di passenger seat dengan sabuk pengaman yang terpasang sempurna.

Pemuda itu tampak linglung. Muka bantalnya sangat kentara.

"Sejak kapan lo disitu?" tanya Kafka dengan suara serak, khas orang bangun tidur.

"Baru aja," sahut Jen. "Gue aja deh yang nyetir. Muka lo planga plongo gitu, ngeri nabrak."

Yang mendapat usul menggeleng cepat sambil mengusap kedua matanya. Meraih minuman berkarbonasi di glove box.

"Malah lebih ngeri kalau lo yang nyetir," timpalnya. Membuka tutup botol hingga ciptakan suara berdesis nyaring. "Bisa-bisa kita sampe rumah tinggal nama."

Jen cuma mendengus, menyadarkan punggung pada sandaran kursi. Memperhatikan orang-orang yang sibuk dengan kegiatannya di area depan gedung Indonesian Music School. Ada yang terburu-buru menghampiri kendaraannya, ada yang berjalan santai dengan kawannya, ada juga yang sepertinya tengah menunggu jemputan di lobi utama.

"Lo lama banget. Gue sampe lumutan."

Kafka menaruh lagi minumannya. Menyalakan mesin mobil kemudian menginjak pedal gas, meninggalkan area parkir gedung IMS yang mulai padat oleh kendaraan.

"Suruh siapa dateng kecepatan?"

"Siapa yang bawel minta jemput dari dua jam lalu?"

Menyebalkan memang Jennifer itu. Kafka yang tengah santai memilih bahan di dapur jadi terburu-buru karena si gadis menyerbunya dengan pesan spam, meminta Kafka untuk menjemput tanpa memberi tahu jam pastinya.

Akhirnya pemuda itu langsung berangkat saat itu juga. Lebih baik dirinya yang menunggu lama daripada harus mendapat omelan dari Jen karena gadis itu yang menunggu lama.

"Iya iya. Salah gue," final Jen. "Lagian lo juga gak ada kerjaan kan sore-sore gini? Kayak orang sibuk aja."

"Bukan masalah sibuknya," sela Kafka. "Lo gak ngehargain waktu gue."

Bibir Jen menipis, ia menghela napas. "Iya iya. Salah gue lagi," tambahnya.

Ego Kafka melambung tinggi hanya karena kembarannya itu mengakui kesalahan. Wajahnya jadi sumringah, tersenyum lebar seakan baru saja memenangkan pertarungan.

Jemarinya terulur menyalakan radio mobil. Melihat padatnya jalanan, ia tahu perjalanan mereka sore ini akan memakan waktu sedikit lebih lama.

"Lo .... "

Kalimat Jen tertunda karena gadis itu mengendus beberapa kali. Memastikan aroma yang penciumannya tangkap memang berbeda dengan aroma biasanya. Ia menoleh pada laki-laki yang tengah menyetir.

"Lo ganti pengharum?" tanya Jen penuh selidik. "Lavender? Suddenly? Kesambet apa lo tiba-tiba ganti lavender?"

Tak diberi waktu untuk menjawab, si gadis langsung sibuk memeriksa sekitar. Mengintip glove box yang tertutup rapat, bagian atas dasbor, sela-sela pintu, kotak power outlet, bahkan sampai mencondongkan tubuhnya untuk memeriksa kursi belakang juga.

"Kenapa sih?"

Kafka jadi bingung karena pergerakan heboh Jen. Matanya tak bisa fokus ke depan karena gadis di depannya terus saja menelisik tiap sudut mobil yang bisa ia jangkau, seakan tak ingin melewatkan barang se-inci pun.

"Cari jejak-jejak peninggalan cewek yang lo ajak duduk disini," sahut Jen tak acuh.

Gadis itu kembali duduk sempurna di kursinya setelah memeriksa karpet di kursi belakang namun tak temukan apapun. Kemudian menatap kembarannya curiga.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang