45.

35 4 0
                                    

Sukar untuk menebak kapan kiranya terjadi.

Air danau yang pantulkan gemerlap sinar mentari pada rumput ilalang jadi tanda mungkin saat itu tengah musim panas. Seharusnya terasa menyengat kulit, tapi cuma hangat yang membekas.

Dalam balutan kardigan dengan warna kesukaan. Pemuda disana tampak senang, rekam segala hal dengan handycam di tangan. Seakan tiap detik yang berjalan wajib diabadikan karena ia tahu; tidak akan ada lagi pengulangan.

Barangkali punya kuasa lebih, Kalipso tentu akan berlari. Menanyakan hal apapun dan turut rekam Elio yang terlihat lembut di bawah sinar matahari.

Menyakitkan karena dirinya hanya bisa lihat sosok itu dari jauh. Kakinya terpaku dan bahkan Tuhan tak izinkan untuk beri rengkuh sekali lagi – sekalipun dalam mimpi.

Sejauh yang Kalipso ingat, Elio tak pernah terlihat berseri seperti ini. Senyum pun wajah cerahnya cukup jadi indikasi kalau ia sudah temukan kebahagiaan, entah di alam yang mana. Laki-laki itu berhasil capai impiannya dan tuntas buat Kalipso untuk tak terus-menerus khawatir.

Kedamaian yang diminta sudah terlaksana.

Hembusan angin perlahan bawa tubuhnya pergi. Seiring dengan pudar yang menggenang dalam penglihatan, di antara tingginya ilalang, Elio menemukan Kalipso.

Belum terlambat untuk ucapkan selamat tinggal dengan cara yang lebih pantas, Kalipso teriakan suara di sisa waktu yang melaju.

"Selamat tinggal, Elio! Gue janji bakal hidup lebih baik dan sampai ketemu lagi!"

Tiada jawaban verbal namun Kalipso tahu Elio menangkap ucapannya. Senyum laki-laki itu semakin pudar dan hal terakhir yang diberikan adalah lambaian tangan sebelum Kalipso menepi dari alam bawah sadarnya.

Mimpi singkat di kala tidur siang sebelumnya tak pernah terasa istimewa. Kendati bukan hal luar biasa, Kalipso tenang karena selamat tinggal yang didamba sudah tersampaikan.

Buku bersampul putih yang sedikit berdebu lantas dibuka lagi. Entah sejak kapan intensitas menulisnya jadi menurun, masih banyak halaman kosong namun Kalipso pilih untuk selektif mencatat. Hanya tulis hal yang sama sekali tak boleh mangkir dari ingatan.

Tanggal hari ini ditulis di sudut atas halaman. Senyum gadis itu terukir bersamaan dengan pena yang bergerak lincah ciptakan noda rapi di lembar putih kertas.

"Kita ketemu di mimpi.
Harusnya gue nyapa lo lebih deket tapi gak bisa, I'm sorry. Lo denger suara gue kan tadi?

Kapan-kapan, dateng lagi ya ke mimpi gue. Nanti kita ngobrol yang banyak atau cuma saling sapa juga gak papa. Gue pengen tau kabar lo."

Pena itu ditutup kembali dengan buku yang juga disimpan rapi di dalam laci. Kalipso terdiam sesaat, perhatikan cermin meja rias yang menampilkan dirinya dalam terusan berwarna putih gading.

Dua buah pin tersemat di dekat telinga, sengaja menyelipkan anak rambutnya agar tak menghalangi pandangan. Wajah manis itu belum usai dipoles dan Kalipso terlalu malas untuk melanjutkan.

Melirik ke arah jam digital di atas meja belajar.

Masih setengah jam lagi sebelum Kafka datang menjemputnya. Maka Kalipso pilih untuk amati kalung berbandul matahari yang tergantung apik di lehernya. Wajahnya dibawa mendekat pada cermin, ingin lihat lebih jelas kalung yang tampak cantik bersanding dengan warna gaun yang dikenakan.

Aksesoris simpel memang bawa efek berbeda untuk Kalipso. Walau jujur, semua hal warna-warni buat dirinya merasa lebih hidup. Tapi kali ini Kalipso mau dirinya terlihat sedikit lebih dewasa.

Mungkin karena itu juga si gadis kini merasa lebih tenang. Energi yang biasanya meledak-ledak tampak absen untuk sejenak.

Fokus Kalipso yang tertuju pada kalung langsung buyar saat dengar suara ketukan. Pintu yang terbuka setengah itu memunculkan kepala Mada yang sedikit menyembul.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang