38;

11 2 0
                                    

Serupa mimpi dan Kalipso berharap memang hanya sebatas mimpi.

Tak sewajarnya sore yang tenang diganti oleh gaduh sirene dan sayup-sayup iba yang terdengar di hampir sepanjang sudut jalan. Jelas Kalipso tiada punya kuasa untuk tahu mana yang bersimpati dan mana yang cuma tunjukkan diri agar rasa penasarannya terpenuhi.

Untuk kedua kalinya gadis itu merasa ditipu.

Gagasan tentang hidup yang akan tetap berlangsung sampai 10 tahun ke depan nyatanya diucapkan sebagai bualan belaka dan bodoh karena Kalipso dengan mudah percaya. Biarkan Elio berkelana sendiri tanpa sudi beri pegangan.

Karena lagi-lagi, ia cuma pikirkan diri sendiri.

Kalau saja tangan Mada yang terasa dingin tak melingkar di lengan kirinya, mungkin gadis itu sudah luruh tak bersisa. Masih dengan anggapan yang sama kalau semuanya hanya mimpi, Kalipso pilih langkahkan kaki.

Melesak masuk pada teritorial yang tak seharusnya ia sambangi namun gadis itu peduli apa.

Tim medis masih sibuk di dalam dan Kalipso pilih acuh pada pemuda yang duduk di kursi dengan tubuh gemetar. Menatap kosong ke depan, mengabaikan tangan dan bajunya yang penuh merah.

"Seth."

Mati-matian agar suaranya tak bergetar dan Kalipso gagal. Nyeri yang sengaja ditahan di tenggorokan kini ditumpahkan lewat kelenjar air mata yang aktif bekerja. Lututnya tidak bisa lagi menopang tubuh lebih lama buat si gadis jatuh bersimpuh.

"Gue terlambat," lirih Setya disela usahanya tenangkan tubuh yang gemetar.

Raih pergelangan tangan Kalipso supaya gadis itu tak merasa jatuh lebih jauh. Namun sia-sia karena yang dilakukan hanya buat merah pekat lainnya berpindah pada lengan Kalipso. Tak beri efek apapun karena si gadis cuma tahu menangis.

"Gue terlambat."

Hanya itu yang bisa diucapkan. Berharap rasa bersalahnya bisa sedikit teredam kalau ada orang lain yang memvalidasi fakta; Elio tak akan pergi begitu saja andaikata Setya datang sedikit lebih cepat.

Deru langkah cepat tim medis penuhi rungu dan mereka membahu bawa Elio yang entah bagaimana rupanya –terlindung rapi dalam kantung, tak biarkan khalayak melihat wujud terakhirnya.

Pegangan pada pergelangan tangan terasa melonggar dan Setya pergi dengan tergesa, ambil bagian dalam mobil ambulans yang akan segera pergi.

Biarkan dirinya terkapar dan terlihat menyedihkan, gadis itu sesenggukan. Bahunya bergetar hebat dan Mada bahkan tak berani ucapkan satu pun kata penenang, pilih usap surai Kalipso yang basah oleh keringat.

"Kakak .... "

Walau tak tahan juga karena isakan itu terdengar semakin pilu. Tanpa berpikir dua kali untuk bawa Kalipso ke dalam pelukan, berusaha redakan tubuh kecil yang juga bergetar hebat.

Rasanya hampa saat ambulans resmi pergi. Memecah kerumunan dan bisik-bisik ingin tahu di luar sana.

"He's just want to fly away," bisik Mada akhirnya. "Nanti kita cari Kak Elio diantara jajaran rasi bintang, ya?"

.

.

Berkali-kali menabrak manusia yang sedang berlalu lalang dan bahkan Kafka tak sempat layangkan maaf. Tanpa mengurangi kecepatan kakinya berlari, terburu menuju ruang yang dimaksud petugas di meja resepsionis tadi.

Sambungan teleponnya sudah usai hampir setengah jam lalu namun Mada yang susah payah pertahankan suara agar artikulasinya jelas masih terbayang dalam benak Kafka.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang