03;

74 6 8
                                    

Jen mematikan ponselnya setelah mengetikkan pesan singkat. Memberi tahu Kalipso agar tidak menunggu dirinya di halte karena hari ini ia tidak naik bus.

Selama hampir tiga tahun sekolah, Jen lebih sering menggunakan transportasi umum dibanding bawa kendaraan sendiri ataupun diantar supir pribadi ayahnya.

Sesekali Pak Mar mengantarnya dan itupun masih bisa terhitung jari. Biasanya hanya jika Jen terlambat atau sedang terburu-buru.

Hari ini ia tak menolak ajakan saudara kembarnya yang menawarkan tumpangan ke SMA Kartika Santi.

Padahal kembarannya itu harus menghabiskan jarak lebih jauh sebelum ia sendiri sampai ke sekolah karena arah Kartika Santi dan sekolahnya sangat berlawanan.

Tapi Jen tak ambil pusing. Toh, Kafka sendiri yang menawarkan tumpangan.

Gadis itu membuang pandangan ke luar jendela. Perhatikan jalanan yang padat kendaraan juga trotoar yang ramai didominasi oleh siswa dengan beragam motif batik khas sekolah.

Suara senandung Kafka sangat selaras dengan Sunday Morning yang terputar dari radio mobil. Jadi salah satu hal–selain suara sen dan klakson–yang penuhi kesunyian sejak tadi.

"Papa dua hari ini belum pulang?"

Yang ditanya hanya mengangguk walau tahu betul Jen tidak melihat gerakan kepalanya. Ia masih lanjut bersenandung kecil. Mengetukkan setir dengan jarinya sambil menunggu lampu lalu lintas berubah hijau.

"Bilangin Papa, jangan terlalu gila kerja," celetuk Jen. "Kayak hartanya dibawa mati aja."

Kali ini Kafka tak tahan tawanya. Tahu betul Jen tak bermaksud bersikap kasar sama sekali. Gadis itu memang punya cara berbeda untuk menunjukkan rasa pedulinya.

"Bilang sendiri lah," ledek Kafka. Kembali menginjak pedal gas waktu kendaraan di sekitarnya mengurai karena lampu sudah berubah hijau. "Beside he's pretty busy cause of his position, i think overworking is his coping mechanism."

Intonasi Kafka yang menurun di akhir curi rasa penasaran Jen. Ia menoleh, perhatikan wajah kembarannya dari samping. "Maksud lo, dia sengaja nyibukin diri?"

Mendapat anggukan sekali sebagai jawaban. Jen masih tak paham. "Tapi .... for what?"

Butuh beberapa detik sebelum Kafka menjawab. Laki-laki itu menghembuskan napas berat. "Sadar, gak? Since mom passed away, dia jadi gila kerja."

Jen terdiam. Menyadari sesuatu.

"Dulu, walau dia megang jabatan tertinggi but he always have time for us. Gak pernah bawa kerjaan kantor ke rumah. Selalu nyempetin makan malam di rumah, bahkan gak pernah sekalipun nginep di kantor."

Benar .... Kenapa Jen tak pernah menyadarinya?

Melihat ayahnya yang gila kerja, Jen pikir pria itu sudah tak peduli banyak pada anak kembarnya. Lagipula mereka berdua sudah beranjak dewasa. Bukan lagi remaja yang harus selalu dituntun, kan?

"Awalnya gue juga mikir, mungkin he thought he doesn't have any responsibilities to take care both of us since we were mom's child" lanjut Kafka lagi. "Maybe he won't let us be spoiled, lo tau sendiri kan gimana manjanya kita ke Mama? Buat hal seremeh pake kaos kaki aja harus dibantu Mama."

Gadis itu mengalihkan pandangan ke depan. Ingin menyanggah tapi apa yang diucapkan Kafka adalah fakta. Ingatannya berkilas balik saat dia menangis hanya karena mama tak kecup keningnya sebelum tidur.

Iya, Jennifer Ruth yang keras kepala itu hanya seorang anak manja jika berhadapan dengan ibunya.

"But it almost five years ...."

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang