33;

14 3 0
                                    

CW // Harrasment
You can skip this part if you mind.
______________________________________

Rasanya seperti main petak umpet.

Selama tiga tahun umur pertemanan mereka, tak pernah sekalipun terbesit pikiran tentang Kalipso yang akan menghindari Jen sampai batas ekstrem.

Setelah dua minggu tak saling tegur sapa pun Kalipso yang sampai tak tunjukkan muka dengan dalih sakit–padahal hanya bualan belaka–dan sekarang seperti sudah kehabisan cara.

Eksistensi Jen yang duduk tenang di bangku halte jelas bukan pemandangan yang ingin Kalipso lihat selama 10 menit ke depan. Tidak, tepatnya ia yang tak ingin terjebak situasi berdua dengan sulung Rahadinata itu.

Mengabaikan langit yang sudah kelabu pekat, Kalipso bawa kakinya menuju gang sempit tak jauh dari sekolah. Pilih jalan alternatif menuju dua halte berikutnya. Setidaknya itu lebih baik daripada harus menunggu bersama Jen.

Tadinya Kalipso pikir begitu.

Salahkan dirinya yang terlalu gegabah memilih langkah padahal jelas tahu kalau tak familiar dengan jalan yang tengah dilalui. Satu yang Kalipso tahu: ia hanya perlu jalan lurus sampai bertemu pertigaan kemudian ambil langkah kiri untuk menuju halte.

Kakinya piawai hindari genangan bekas hujan tadi pagi. Ciptakan cipratan air yang mengenai tembok berlumut di sepanjang jalan. Berpikir kalau usaha melarikan dirinya berhasil, gadis itu berjalan tenang sambil bersenandung kecil.

Angin yang berhembus sedikit lebih kencang tak berarti apa-apa selain buat gang itu jadi tambah menyeramkan. Entah kenapa matahari juga seperti tak pancarkan sinarnya sama sekali.

Memutuskan untuk memacu langkah namun keberaniannya terhisap habis saat dua orang pria menatapnya aneh. Masih berusaha ulas senyuman, Kalipso ucapkan permisi kala lewati dua pria itu.

Alih-alih dibalas dengan ucapan setimpal, salah satu pria berbadan bongsor malah sengaja menghalangi Kalipso. Membuat gadis itu terpaku seketika, matanya takut-takut menatap.

"Mau kemana cantik?"

"Mau .... lewat," sahut Kalipso setelah susah payah meneguk ludah. Tanpa sadar jadi memundurkan langkah. "Tapi kayaknya gak jadi lewat sini."

Baru hendak berbalik tapi pria yang lain turut memblokir akses jalannya. Kontan tubuh Kalipso bergetar, rasakan denyut jantungnya yang terlalu kuat.

"Permisi," kata si gadis masih berusaha cari celah.

"Mau kemana sih? Buru-buru banget kayaknya."

Pria yang bongsor menyentuh pipi Kalipso yang spontan langsung ditepis oleh si gadis. Sebabkan tawa mengejek menguar dari kedua pria itu.

"Jangan galak-galak dong." Pria yang satunya menimpali. "Kita kan mau main."

Demi Tuhan seringaian kedua pria ini lebih menyeramkan dari wujud hantu paling buruk rupa sekalipun. Batin Kalipso menyuruh gadis itu agar berteriak atau berlari tapi tubuhnya bahkan terlalu kaku untuk bergerak. Hanya pasrah saat disudutkan hingga punggungnya menabrak tembok.

"Gak usah takut gitu, dong. Gak bakal sakit kok." Pria yang bongsor semakin memangkas jarak. "Suruh siapa cantik begini? Bukan salah kita kalau jadi bangun."

Tak ada yang bisa dilakukan selain menggeleng ribut dengan mata yang berkaca-kaca. Bukannya dapat iba, kedua pria itu malah semakin senang lihat mangsanya yang meringkuk ketakutan.

Kedua lengan Kalipso digunakan untuk menutup tubuhnya. Mempertahankan kekuatan ketika salah satu pria itu mulai menarik lengannya agar menjauh dari tubuh walau jelas tenaganya kalah kuat.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang