44;

16 4 0
                                    

Paperbag ukuran besar yang Kafka bawa belum jua sampai pada tangan si penerima. Tapi tak ada kekhawatiran karena setidaknya paperbag berisi buku-buku itu sudah tersimpan rapi di meja ruang tamu kediaman Kalipso.

Niat pemuda itu sempat urung usai Mada mengatakan kalau si sulung sedang tak ada di rumah, entah pergi kemana. Bisa saja Kafka hubungi Kalipso untuk menanyakan keberadaan gadis itu, namun kurang etis rasanya karena ia juga berkunjung bukan karena keperluan mendesak.

Sudah hendak masuk kembali ke dalam mobil ketika Mada menahan. Menawarkan Kafka untuk mampir dan disinilah mereka sekarang.

Televisi di ruang tamu menampilkan grafik game yang sedang Mada mainkan dengan tangan si pemuda yang cekatan bergerak di atas konsol. Kafka hanya duduk di sofa, memerhatikan laki-laki yang lebih muda karena ia sendiri tak handal soal permainan seperti itu.

".... kalau di Kartika Santi, gue gak bisa bebas soalnya Kak Ipo pasti keep her eyes on me."

Mada tuntaskan jawaban atas pertanyaan Kafka tentang kenapa dirinya tak bersekolah di sekolah yang sama dengan Kalipso. Kepala pemuda itu mengangguk kecil.

"Biar bisa ngebadung ya lo?" tuduh Kafka.

"Yeeee," cibir Mada tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi. "Emang muka gue keliatan kayak anak badung?"

"Iya."

Ini bukan kali pertama Kafka lakukan konversasi dengan Mada walau seringnya dilakukan lewat pesan. Obrolan yang tengah berlangsung seperti ini masih bisa masuk hitungan jari namun tak ada canggung sama sekali. Mungkin karena memang dasarnya laki-laki lebih mudah berbaur.

Pemuda yang lebih tua mendadak jadi pewawancara aktif. Menanyakan banyak hal dan Mada menjawab lugas disela fokusnya bermain game.

"Gue denger lo temenan sama Riki," ujar Kafka lagi. "Riki Abimanyu."

"Iya," sahut Mada seadanya. "Plot twist banget ternyata dia saudara lo, Kak."

"Emang kenapa?" Alis Kafka tertekuk.

"Waktu Riki bilang kalian saudaraan, gue pikir dia cuma ngehalu." Mada meraih keripik kentang di sebelahnya. "Abis mukanya kayak orang susah," lanjutnya lagi sebelum mengunyah irisan tipis kentang itu.

Spontan Kafka tersedak ludahnya sendiri. Paras lembut Mada benar-benar kontras dengan lisannya yang tajam itu. Dan lagi, tabiat Mada yang suka blak-blakan bicara tanpa rem jelas berlainan dengan Kalipso yang kelewat lugu.

"Ayo mau tanya apa lagi?"

Grafik di televisi menampilkan nama pengguna Mada di daftar teratas pemenang. Meregangkan leher yang terasa pegal akibat terlalu lama mendongak, pemuda itu mematahkan kepalanya ke kiri dan kanan.

Lagaknya seperti baru saja menyelamatkan peradaban padahal hanya menyelesaikan ronde kedua permainan.

"Gantian lah," tukas Kafka sambil raih segelas soda yang disajikan untuknya. "Lo gak kepo sama gue?"

"Enggak."

Belum genap satu menit jawaban tegas itu dilayangkan dan sesuatu tiba-tiba melesak masuk dalam benak. Buat Mada menoleh pada Kafka di belakangnya yang sedang meneguk soda.

"Eh Kak, lo sekolah di Fortis, ya?" Minim suara, yang mendapat tanya hanya memberi anggukan sebagai jawaban. "Mantan lo sekolah disana juga?"

Soda dalam mulut nyaris menyembur kalau saja Kafka tak langsung menutup mulutnya rapat. Wajahnya langsung merengut pada Mada, merasa pemuda itu tengah menyudutkannya.

"Iya," sahut Kafka berusaha tenang. "Kenapa? Lo mau kenalan sama Saras?"

Mada bergidik ngeri. "Basa basi doang," katanya. "Gimana rasanya jadi anak konglomerat dan hidup di lingkungan para konglomerat?"

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang