11;

24 5 13
                                    

Ada yang menarik tentang seseorang di abad ke 17.

Giacomo Casanova itu jelas bukan yang pertama dan bukan juga satu-satunya pria yang suka bermain wanita.

Mencengangkan juga karena namannya kini bahkan jadi sebutan untuk seseorang yang gila wanita.

Kendati demikian, Casanova itu berbakat dalam berbagai bidang.

Mungkin juga di setiap sekolah setidaknya ada satu siswa yang pantas dilabeli casanova, dan Kartika Santi punya Elio Gideon sebagai salah satunya. Dia bukan kapten basket yang selalu dapat sorakan dari penggemarnya tiap berlaga, bukan juga ketua OSIS yang selalu terlihat penuh wibawa.

Dia itu genius, tak pernah absen tampil dengan alat musiknya di tiap acara sekolah, everyone's crush, ramah, easy going, dan yang terpenting: dia tahu cara menarik perhatian perempuan.

Bukan hal aneh jika melihat boncengan motor pemuda itu yang selalu diduduki oleh gadis yang berbeda tiap harinya. Atau melihat pemuda itu merangkul gadis mana saja yang sedang berbicara dengannya.

Tapi Elio bukan Giacomo Casanova.

Elio cuma pemuda 18 tahun yang haus validasi. Merasa bisa menaklukkan hati siapa saja. Namun yang menarik tentangnya adalah: tak pernah ada desas-desus yang mengatakan kalau pemuda itu memiliki kekasih.

Dan hal itu cukup menjelaskan kalau semua yang Elio lakukan adalah bagian dari wataknya dan bukan suatu hal yang patut dijadikan bumerang untuk menyerangnya.

Setidaknya Kalipso pikir begitu.

Saat pagi ini pemuda itu datang menjemput–mengajak pergi sekolah bersama, ditambah perlakuannya yang terlihat sangat berbeda belakangan ini, buat Kalipso senang luar biasa.

Tak ingin melupakan sedikitpun detail sejak dirinya duduk di motor besar Elio hingga pemuda itu mengucapkan "sampai nanti" sambil melangkah pergi. Kalipso selalu mengulang kalimatnya, terus menerus menceritakan hal yang sama seperti kaset rusak.

Sebagian orang mengatakan jangan terlalu senang berlebihan karena konon katanya, hal buruk akan terjadi setelah kita terlampau senang.

Kalipso tak percaya.

Menurutnya hal buruk terjadi karena memang sudah takdirnya begitu. Jadi gadis itu biarkan seluruh perasaannya melayang karena Elio menjemputnya untuk kali pertama setelah nyaris 4 tahun bertetangga.

Aneh, bukan?

Sayangnya hari ini Tuhan mengakhiri rasa senang Kalipso sedikit lebih cepat. Sepertinya ingin mengingatkan pada si gadis kalau sesuatu yang berlebihan memang tak pernah jadi opsi pilihan.

Langkah yang ringan karena hati kelewat riang langsung hilang hanya dalam hitungan detik. Bibir yang melengkung manis jadi terganti dengan senyum segaris.

Penyebabnya karena Elio meninggalkan area sekolah dengan seorang gadis–lagi–di boncengannya. Tangan ramping si gadis terulur melingkari pinggang Elio sempurna. Tampak nyaman menyandarkan dagunya pada bahu–persis seperti yang Kalipso lakukan beberapa malam lalu ketika pemuda itu menggendongnya.

Kalipso sadar betul ia cemburu dan ia benci itu.

Gadis itu benci karena cemburu untuk hal yang sama sekali bukan kuasanya. Gadis itu benci karena sadar .... Elio bukan miliknya.

"Sama siapa lagi hari ini?"

Suara yang mendekat buat Kalipso menoleh, sadar telah meninggalkan Jen beberapa langkah di belakang. Ia menghela napas. Tak ingin menjawab.

Jen tersenyum iseng, menyenggol lengan Kalipso. "Udahan ngocehnya? Gak mau ceritain Elio lo yang gak seberapa itu lagi?"

Kalipso melirik lewat ekor mata sambil mencibir.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang