16;

28 3 3
                                    

Bel yang berdenting saat pintu coffee shop terbuka spontan buat Elio menoleh. Pemuda itu yang memang sedang menunggu seseorang langsung menegakkan tubuh karena seseorang yang ditunggu berdiri di ambang pintu.

Sepertinya tak butuh waktu lama bagi si wanita untuk mencari keberadaan Elio. Ia langsung menghampiri meja anak tunggalnya sambil tersenyum. Berbanding terbalik dengan si pemuda yang terlihat kaku–bukannya tak mau balas senyum, hanya saja merasa canggung.

Bergeming ketika wanita itu berdiri di depannya. Duduk di kursi yang berseberangan dengan Elio kemudian menaruh tas jinjingnya di pangkuan.

"Apa kabar?"

Jamais vu.

Saking lamanya Elio tak dengar suara lembut itu. Hatinya terasa bergetar, ingin sekali memeluk tubuh itu namun pasti rasanya aneh.

Inez masih tetap ibunya. Ibu kandungnya.

Harusnya tak terasa aneh, kan?

"Baik," jawab Elio kemudian. "Ibu sendiri apa kabar?"

Wanita itu tersenyum. Merasa tenang setelah sebelumnya khawatir setengah mati anak tunggalnya itu akan mengabaikannya.

Pertemuannya dengan Kafka tempo hari benar-benar membuat perasaanya membuncah. Ia tak bisa lagi menahan rindu pada Elio sampai-sampai pemuda itu masuk ke dalam mimpinya di beberapa malam terakhir.

Akhirnya memutuskan untuk mengajak putranya bertemu di kedai kopi ini–karena menjenguknya langsung ke rumah tentu saja bukan opsi yang baik.

"Ibu baik," jawabnya lagi kemudian.

Untuk beberapa saat, Inez hanya diam sambil menelisik tiap jengkal wajah Elio. Senyumnya tak juga pudar.

Tak ada yang berubah dari anak itu selain rambutnya yang sedikit lebih panjang dari biasanya. Tanpa sadar tangannya terjulur menyugar rambut Elio, buatnya sedikit tersentak.

"Rambut kamu udah panjang," ujarnya. "Kenapa gak dicukur?"

Elio yang mula-mula merasa sungkan jadi menghela napas pelan. Sentuhan sang ibu tak pernah gagal ciptakan rasa nyaman bagi dirinya. Senyumnya jadi mengembang sempurna.

"Aku lebih ganteng kalau gondrong," jawaban yang ceria itu undang tawa kecil dari Inez. Ia menarik kembali tangannya, melipat lengan di atas meja.

"Kamu botak pun tetep ganteng kok."

Si laki-laki hanya tersenyum. Memainkan sedotan di gelas lemonade-nya yang meninggalkan titik-titik air di permukaan gelas.

Ucapan ayahnya hari itu tak pernah sekalipun mangkir dari pikirannya. Sebagian pikirannya menyetujui kemungkinan yang Erwin paparkan tentang alasan Inez meninggalkannya, namun mau bagaimanapun ia tak bisa benci pada ibunya.

Semakin melekat ucapan itu, semakin besar juga rasa rindunya.

Hingga saat kemarin malam si wanita menghubunginya untuk yang pertama kali–setelah nyaris setahun tak berjumpa, tidak dapat dipungkiri ia kelewat senang sampai tak bisa tidur.

Coffee shop sore ini tak terlalu ramai. Lampu-lampu yang hasilkan cahaya jingga memantul pada dinding kayu yang berkilau. Terasa nyaman dengan musik R&B yang diputar dengan volume pelan, terdengar sayup-sayup diantara sepinya kedai.

"Ibu gak pesen minum? Or food perhaps?"

Inez menggeleng. Belum juga lelah tersenyum. "Ibu udah makan," sahutnya. Membuat Elio hanya mengangguk. "Sekolah kamu gimana?"

"So good so far," jawab Elio. "Aku sekelas sama Setya lagi. Tahun lalu sempet kepisah, dia IPA 5 aku IPA 3. Sekarang kita di IPA 2."

Pemuda itu menyesap minumannya sekali. "Kelas 12 ternyata gak nyeremin kayak yang aku bayangin. Sejauh ini aku belum nemu kesulitan tapi Setya udah ngeluh mulu, katanya dia khawatir mati muda gara-gara kebanyakan tugas. Lebay dia."

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang