30;

27 3 0
                                    

Anggapan tentang Tuhan yang membencinya sampai ke tulang mungkin memang benar–katakanlah begitu.

Berusaha tak langsung menyimpulkan dan berpikir kalau hidupnya hanya sedang lalui fase tak menyenangkan, namun yang terjadi tak bisa buatnya berbaik sangka lebih lama lagi.

Sibuk menyalahkan Tuhan karena banyak sematkan derita di sepanjang garis takdirnya. Padahal derita datang karena dirinya yang sembarangan menaruh harapan.

Ketika nomor tak dikenal menghubunginya dan mengatakan sesuatu yang tak pernah ingin Elio dengar, ia pikir hanya mimpi. Bahkan ketika perawat dan dokter menunduk dalam kala ia tanyakan kondisi ibunya, ia berpikir kalau Tuhan sedang beri lelucon.

Ucapan belasungkawa dari orang-orang ini tak berdampak apa-apa sama sekali. Terdengar seperti formalitas belaka dengan sedikit rasa iba–tapi Elio paling benci dikasihani.

Karena sejatinya tak ada yang benar-benar peduli.

Kakeknya hanya datang sekali. Mengusap kepalanya lembut lalu pergi lagi, seolah kematian putrinya tak lebih berarti daripada rapat di kantor siang nanti.

Setelahnya hanya orang-orang yang datang silih berganti–yang bahkan tak Elio kenali, sengaja penuhi rumah duka cuma buat tunjukan muka.

Untuk beberapa saat, pemuda itu bergeming. Cuma berdiri menghadap peti mati sang ibu yang tertutup rapat. Sengaja, ibunya tak akan suka kalau orang-orang lihat wajahnya untuk yang terakhir kali dengan kondisi penuh luka.

Lelah mendengar ungkapan iba di sekitar yang berusaha diucapkan dengan vokal rendah namun diulang berkali-kali seperti kalimat repetisi. Elio putuskan untuk beranjak pergi.

Bawa kakinya menuju area yang tak banyak dilalui orang, sedikit jauh dari ruang duka.

Di koridor sempit yang menghubungkan ruangan dengan area belakang gedung, pemuda itu duduk di bangku panjang. Menyandarkan punggung pada dinding yang terasa dingin.

Elio memejamkan matanya sesaat sebelum merogoh ponsel di saku, menghubungi satu nomor yang ia yakin belum tahu sama sekali soal ini.

Tak sampai 30 detik panggilannya tersambung, sebuah keajaiban karena bahkan ayahnya tak pernah sudi mengangkat telepon darinya.

"Apa?"

Terasa sama dinginnya dengan dinding yang tengah menopang punggung, hati Elio semakin mencelos. Berdeham sekali, memastikan suaranya tak bergetar.

"Ibu meninggal," ucapnya kemudian. "Kecelakaan."

Kalimatnya tak langsung mendapat respon. Hening menyelimuti keduanya untuk sesaat. Mungkin seseorang di seberang sana terkejut. Hanya dehaman yang terdengar sebelum Erwin menginterupsi.

"Saya turut berdukacita," katanya.

Hening lagi.

Yang lebih muda menunggu ayahnya jikalau ia ingin mengucapkan sesuatu yang lain. Dan nyaris satu menit berlalu, pria itu tak ucapkan apapun lagi. Buat Elio mengeratkan giginya.

"Cuma itu?"

"Lantas apa lagi?"

Harusnya sudah bisa menebak respon seperti apa yang akan diberikan. Namun Elio tak menyangka si berengsek ini tak tunjukkan empati sama sekali buat wanita yang sudah menemaninya selama hampir 20 tahun terakhir.

Bukankah itu kelewatan?

"Saya lagi di Hanoi. Ada pekerjaan yang gak bisa ditinggal," jelas Erwin yang paham ucapannya tadi sentil emosi putra tunggalnya.

"I feel bad for her," kekeh Elio tak percaya. "Bahkan ayahnya sendiri lebih mentingin KERJAAN daripada nyawa putrinya dan ternyata Papa juga sama bajingannya."

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang