26;

30 3 0
                                    

"It doesn't a big deal."

Ingin sekali Setya menyumpal mulut kurang ajar kawannya itu dengan sepatu miliknya yang belum dicuci sejak dua bulan terakhir. Keluh kesah pasal kejuaraan figure skating yang ia ikuti kemarin lusa tampaknya harus ditelan bulat-bulat.

Niat hati mencari validasi, tapi yang didapatkan malah dongkol setengah mati. Salahnya juga karena bersusah hati di depan Elio. Manusia ini profesional kalau urusan tak berempati.

Memutuskan untuk tak lagi angkat suara, pemuda berkulit pucat itu sandarkan punggung. Melipat tangan di depan dada juga matanya fokus pada para siswa 12 IPS 3 yang tengah bermain basket di lapangan sana.

"Kayak gak pernah kalah aja. Perak is better than nothing, right? Hidup gak melulu soal emas kali."

Kalimat Elio selanjutnya buat Setya diam-diam buka lebar telinga walau matanya tak beralih dari gadis yang duduk di pinggir lapangan.

"At least your parents wouldn't be ashamed, i'm sure."

"Tau darimana?" tanya Setya, kali ini menoleh.

"Sumedang."

Baru saja kepercayaan dirinya sedikit meningkat, namun si berengsek Elio dengan cepat menjatuhkannya hingga terasa seperti menghantam inti bumi. Hendak membalas tapi pemuda itu lebih dulu lanjutkan kalimatnya.

"You never know how your parents have always been the first to tell me everything that happened at your championships even faster than the media," tandas Elio.

Kepalanya mengangguk kecil di sela lidahnya yang sibuk mencecap lolipop.

Seperti dapat tamparan karena terlalu memikirkan dirinya yang gagal memenuhi ekspektasi orang lain, sampai penghargaan diri yang diberikan orang tuanya malah dilupakan begitu saja.

"Coba liat deh gue, dapet medali emas olim kimia aja masih suka digebukin."

Kalimat Elio yang itu sontak undang senyuman miris dari si pemuda berkulit pucat. "Gue benci kalau ada yang adu nasib tapi kali ini emang lo perlu dikasihanin."

Tribun lapangan basket outdoor jadi tempat sempurna buat dua pemuda itu melarikan diri setelah mencuri xiaolongbao di kotak makan milik Calista-ketua kelas mereka.

Jam pelajaran ke-4 harusnya diisi Pendidikan Kewarganegaraan namun Bu Susan berhalangan hadir dan sukses buat siswa kelas 12 IPA 2 berisik luar biasa seperti monyet lepas.

Calista yang awalnya khusyuk menonton drama di laptop jadi sibuk keluyuran untuk menarik murid laki-laki yang bermain bola di dalam kelas.

Kesempatan itu digunakan Setya dan Elio untuk mengambil kudapan si gadis yang sisa dua kemudian melesat keluar.

Gagasan untuk memijakkan kaki di lapangan basket ini rasanya jadi pilihan bijak. Selain cuaca yang sedang bagus, kelas yang tengah menguasai lapangan juga jadi alasan baik lainnya.

Dari seluruh siswa kelas 12 IPS 3 yang sedang bermain basket-walau mayoritas siswi memilih duduk di pinggir lapangan-atensi Elio terus tertuju pada Kalipso yang duduk diantara para siswi.

Rambutnya diikat tinggi dengan wajah yang memerah akibat matahari pagi. Wajahnya sangat ekspresif kala berbincang dengan siswi yang lain, entah apa yang mereka bicarakan. Kipas angin portabel di genggaman buat anak rambut yang jatuh di pelipis jadi bergerak pelan.

Eksistensi dua pemuda itu tampaknya tak disadari karena posisinya yang duduk di bangku paling ujung dan agak tersembunyi. Hal bagus karena mereka tidak perlu dapat teguran dari guru Pendidikan Jasmani karena berkeliaran di jam pelajaran.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang