27;

18 2 0
                                    

Daripada ruang tamu, mungkin ruangan ini lebih pantas disebut sebagai museum. Salah satu bagian dindingnya sengaja dibuat untuk pamerkan segala prestasi yang pernah diraih. Jajaran medali dan piala tutup sempurna warna ash grey dinding yang terhalang lemari kaca besar.

Sudah nyaris 15 menit dan Elio belum selesai juga menelusuri satu persatu medali dan piala yang tertata rapi di dalam lemari-saking banyaknya. Belum bosan menggulirkan mata untuk baca tiap penghargaan yang ada disana.

Harusnya ruang tamu rumahnya juga dihias seperti itu. Medali emas dan perak olimpiade yang Elio punya sejak sekolah menengah pertama agaknya cukup untuk curi perhatian para tamu yang datang ke rumah.

Dan masalahnya ia sama sekali lupa dimana menyimpan semua penghargaan itu-karena sang ibu yang terakhir kali menyimpan semuanya dengan rapi, entah dimana.

Satu-satunya yang bisa dilihat mata cuma medali emas olimpiade kimia tingkat nasional yang tergantung apik dalam figura kaca di kamar si laki-laki.

Yah, setidaknya yang itu cukup untuk peringatkan Elio setiap pagi kalau ada yang bisa dibanggakan dari dirinya.

"Mau sampai kapan berdiri di situ?"

Anak tunggal pemilik rumah kembali dengan minuman juga stoples baguette kering. Tampak heran karena Elio belum beranjak sejak ia mempersilakan tamunya itu duduk nyaman di sofa.

"Lo bukan orang biasa ternyata," celetuk Elio. Memutuskan mengakhiri sesi penasarannya. Pemuda itu kemudian duduk di sofa.

"Jadi maksudnya gue superhuman kayak Limbad gitu?"

"Dari sekian banyak contoh, kenapa harus Limbad?"

Regina tertawa jenaka sambil menuangkan soda buat tamunya. "Biasa aja kok, bukan sesuatu yang spesial."

"Gini ternyata cara lo merendah," cibir Elio.

Ngomong-ngomong, kehadiran pemuda itu ke rumah mentor musiknya bukan tanpa sebab. Akibat dari kaki penyangga shoulder rest yang rusak saat latihan kemarin, ia jadi datang kesini.

Sebenarnya Elio sudah berniat akan beli yang baru namun Regina menawarkan sandaran bahu miliknya, buat si pemuda mau-mau saja. Rasanya tak etis kalau dia menolak perbuatan baik orang lain.

Selain fokusnya tertuju pada dinding yang khusus menjajakan berbagai macam penghargaan, ada hal lain yang buat pemuda itu sedikit heran.

Di ruangan ini sama sekali tak ada foto yang mengindikasi para penghuni rumah.

Bukan urusannya namun ia sendiri tak paham kenapa rasanya sangat janggal. Di rumahnya sendiri yang berantakan, setidaknya masih ada satu foto besar yang memuat potret penghuni rumah. Setidaknya lagi, ada momen yang ditangkap sebelum semuanya menjadi carut marut.

"Shoulder rest-nya ada di kamar gue," ujar Regina memecah lamunan pemuda di depannya. "Would you like to wait for minutes?"

"Gue ikut aja," sahutnya.

Otomatis alis yang perempuan menekuk. "Lo tunggu sini," titahnya.

"Kenapa gak boleh ikut?"

"Ngapain harus ikut?"

"Ya .... ngapain kek? Do something we never do."

Bantal sofa yang tergeletak di samping Regina kontan melayang ke arah Elio tapi pemuda itu lebih dulu menghindar. Melihat wajah si gadis yang jadi merah padam, ia tertawa puas.

"Loh? Kan banyak yang belum pernah kita lakuin bareng," kekeh Elio. "Dengerin lagu bareng di kamar lo misalnya."

Tak ingin lebih lama dipermainkan laki-laki yang lebih muda, Regina segera bangkit lalu melenggang pergi tanpa mengucapkan apapun. Tinggalkan Elio dalam kesunyian yang balut ruangan luas itu.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang