06;

38 6 8
                                    

Kalipso berlari menuju peron saat kereta tujuannya sudah datang. Berebut tempat dengan para pekerja yang mulai memenuhi kereta.

Wajar saja, sudah jam pulang kerja.

Gadis itu baru kembali dari butik ibunya. Lokasi butik tak terlalu jauh sebenarnya, bisa dijangkau dengan bus. Tapi hari ini Kalipso memilih naik kereta karena tiba-tiba perutnya menginginkan sekotak roti bakar di angkringan dekat stasiun.

Harusnya Kalipso mematuhi anjuran ibunya yang menyuruh agar gadis itu pulang lebih awal jika naik kereta. Tentu saja agar tak bentrok dengan jam pulang kerja.

Tapi apa boleh buat? Sudah terlanjur.

Tak kebagian kursi, Kalispo terpaksa berdiri. Berpegangan erat pada hand grip.

Entah kenapa perasannya sedikit tak nyaman. Gadis itu tiba-tiba menyesali keputusannya untuk pulang naik kereta walau percuma juga menyesal karena ia tak mungkin kembali–kereta sudah berjalan.

Pasalnya seseorang di belakang seperti sengaja menempelkan tubuh pada Kalipso. Tas gadis itu yang semula tersampir di depan kini ia pindahkan lagi ke belakang. Membuat jarak agar seseorang tadi tak menabrak punggungnya.

Ingin sekali menoleh namun ia terlalu takut. Bisa rasakan seseorang di belakang tengah menatapnya lekat saat gadis itu melirik lewat ekor mata, buatnya refleks mengalihkan pandangan dengan jantung yang berdegup kencang. Keringat mulai mengaliri pelipis.

Gerbong kereta benar-benar padat. Dalam keadaan ini sangat memudahkan seseorang melakukan hal buruk tanpa diketahui orang lain.

Bukan sekali dua kali juga Kalipso dengar tentang pelecehan yang terjadi di kereta. Namun ia tak menyangka akan berada dalam situasi ini–walau ia harap seseorang di belakangnya tak akan berbuat yang aneh-aneh.

Kalipso buat catatan mental agar berteriak atau menyerang siapapun yang melakukan hal kurang ajar padanya jika sewaktu-waktu hal seperti itu terjadi. Tapi nyatanya ia tak bisa. Lebih dulu terjebak dalam ketakutan.

Bulu romanya meremang saat rasakan sebuah tangan menyentuh pinggang kemudian bergerak perlahan menuju perut. Tubuhnya tiba-tiba terasa kaku juga mata yang terasa panas. Kalipso menggigit bibir bawahnya kuat, berusaha tak menangis padahal air mata sudah berkumpul di pelupuk.

Batinnya berteriak berkali-kali menyebutkan nama Tuhan, berharap apa yang dia khawatirkan tak akan terjadi. Meminta maaf pada sang bunda karena tak mematuhi anjurannya.

Si gadis tak bisa lagi menahan air mata saat tangan lain menggerayangi pinggulnya. Sedangkan tangan yang satu lagi perlahan naik ke bagian atas tubuhnya.

Kalispo menunduk dalam. Benar-benar ketakutan. Batinnya berteriak semakin kencang mengucap nama Tuhan. Memohon sebesar-besarnya agar diberi perlindungan walau jujur saja ia sudah kehilangan harapan.

Suara decakan dari beberapa penumpang terdengar nyaring. Merasa terganggu karena seseorang berusaha menyeruak padahal gerbong sedang padat.

Hanya untuk sekedar memindahkan posisi kaki saja sulit, tapi pemuda itu malah nekat berpindah tempat.

Awalnya Kalipso tak menyadari. Masih menunduk dalam sambil memanjatkan doa. Ia bisa rasakan seseorang tadi menghentikan kegiatan amoralnya lalu disusul dengan decakan sembari mengomel.

Namun kemudian seseorang yang lain datang menghampiri, berdiri di belakangnya. Gadis itu kembali mengeratkan genggaman pada hand grip dan semakin menundukkan kepala.

Tuhan tolong .... ketakutannya bahkan belum reda.

Air matanya tambah mengalir deras saat seseorang sentuh pundaknya pelan. Ia tahu betul tangan ini bukan tangan yang tadi menggerayangi tubuhnya. Tapi Kalipso sudah terlanjur dilanda ketakutan luar biasa hingga tubuhnya sedikit bergetar.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang