43;

13 2 0
                                    

Normalnya, siswa manapun memilih untuk segera pulang setelah jam les selesai. Entah untuk kembali lanjut belajar ataupun istirahatkan tubuh setelah seharian muak dicekoki materi pelajaran yang tak ada habisnya.

Energi dua siswi Kartika Santi ini agaknya patut diacungi jempol. Tak ada gurat lelah sama sekali di wajah keduanya, seakan lupa kalau di permulaan minggu ini sudah dirundung kelas intensif dan dua jam les tambahan.

Belum lagi tugas yang menanti buat dituntaskan.

Bagi Jen, koleksi gitar baru di toko Harmoni Music lebih penting. Dan bagi Kalipso, menemani Jen melihat-lihat koleksi gitar baru juga jauh lebih penting.

Pukul 7 ketika mereka masuk ke dalam toko dengan antusias. Membalas ramah penjaga kasir yang mengucapkan selamat datang pada keduanya.

"Lo mau beli gitar hari ini?"

Kepala Jen hanya menggeleng dengan mata yang sibuk meliar, perhatikan setiap gitar yang tergantung di rak dinding. "Gue mau cari yang bagus buat dimasukin whislist", jelasnya. "I'll buy it later as reward if I could beat the first period of exam."

Gadis yang membuntuti di belakang Jen turut mengangguk. "Reward, ya?" gumam Kalipso. "Tapi kalau gagal, gimana?"

"Ya gak papa," sahut Jen sambil mengangkat bahu sekali. "Berarti beli sebagai apreasiasi karena udah berusaha keras."

Ide bagus.

Selain sebagai penghargaan karena sudah berusaha keras, mungkin cukup untuk jadi pemantik agar dirinya berusaha dua kali lebih keras. Semangat Ivona Kalipso itu seperti uap bensin yang mudah terbakar jika mendapat iming-iming hadiah.

"Ada sesuatu yang lo pengen gak?"

Kalipso yang sedang memerhatikan deret biola spontan menoleh pada Jen. Alisnya terangkat tinggi namun kemudian tersenyum, ia bisa baca maksud Jen selanjutnya.

"Gue tau lo bakal rajin kalau dijanjiin hadiah. So, I'll give it to you if you could beat the exam."

Kan.

"Can you?" Mendapat anggukan sebagai respon. "Anything?"

"Selama masih waras, it pass."

Langkahnya dibawa mendekat pada Jen. Sudah jadi kebiasaan, Kalipso menaruh dagunya di pundak gadis yang berambut coklat. Memberi ekspresi dengan senyum mencurigakan.

"Gak aneh-aneh kok," bisiknya. "Cuma mau jadi Ibu tiri lo aja."

Sepersekian detik berikutnya, telunjuk Jen digunakan untuk dorong Kalipso menjauh. "Ini sih lo yang gak waras," cibirnya. "Coba ngomong lagi, mau gue aduin Kafka."

Pergerakan Jen yang hendak merogoh ponsel di saku rok langsung ditahan oleh Kalipso. Gadis itu merengut. "Gak asik lo mainnya ngadu-ngadu."

Mengabaikan cibiran itu, Jen benar-benar mengambil ponselnya. Berlagak sibuk menghubungi seseorang dan tanpa sadar Kalipso juga melakukan hal yang sama.

"Jen."

Panggilan Kalipso membuat si empunya nama menoleh, walau kemudian matanya melebar saat lihat nama Setya tertera di layar ponsel Kalipso.

"Gue juga bisa ngadu," ancamnya.

Gertakannya berhasil. Kalipso tertawa karena Jen mendecak kuat lantas memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

Tiga tahun usia pertemanan mereka dan baru kali ini Kalipso melihat Jen tutup bibir rapat atas ancaman yang dilayangkan. Seorang keras kepala seperti Jennifer bisa luluh juga kalau dihadapkan dengan situasi seperti ini.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang