Es krim vanila dalam mangkuk sudah sepenuhnya mencair. Hanya dicicipi sedikit dan setelahnya dimainkan dengan tak minat oleh empunya. Si gadis bertopang dagu, pusatkan atensi pada es krim vanila yang tampak tak lagi menggugah selera.
Ramai obrolan orang-orang di kafe siang itu tak sedikitpun surutkan kepalanya yang berisik. Menyuruh Kalipso menyuarakan segala hal yang ganggu pikiran tapi ia masih belum mau bicara.
Selain itu, Kafka di depannya juga terlihat sibuk berkutat dengan laptop, entah sedang apa.
Dengan celana bahan hitam dan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku, Kafka benar-benar terlihat seperti seorang pengusaha muda. Agaknya siapapun yang melihat tak akan menyangka kalau ia adalah seorang siswa kelas akhir.
Pemuda itu kelewat menawan–seperti biasanya.
Kalipso menggeleng kecil karena tanpa sadar menatap laki-laki di depannya lekat. Merutuki dirinya yang mudah luluh padahal tujuannya kesini bukan untuk kagumi rupa Kafka yang tak wajar.
Pergerakan itu diam-diam juga curi perhatian yang sedari tadi dipandang. Si pemuda tersenyum kala netranya bertabrakan dengan milik Kalipso, kemudian senyumnya tambah lebar karena Kalipso langsung alihkan pandangan.
"Kenapa gak dimakan? Gak suka?" tanya Kafka selagi mematikan laptop, memasukkan benda persegi itu ke tasnya. "Mau pesen yang lain?"
"Lagi gak selera aja," sahut Kalipso. Meletakkan sendok yang sedari tadi ia gunakan untuk mengaduk es krim. "Are you done with your work?"
Laki-laki itu mengangguk sambil menyesap mokacino. "Cuma revisi esai sedikit," sahutnya. "Temen gue bawel minta file-nya dikirim sekarang."
Selanjutnya hening, tak ada yang angkat suara. Si perempuan sibuk berlaga dengan batinnya tentang haruskah ia bertanya atau tidak.
Tanpa tahu kalau si laki-laki juga sama sibuknya, berusaha menghempaskan ragu tiap kali rentetan kalimat yang sudah disiapkan nyaris terucap di ujung lidah.
"Kalipso."
Hingga pergelutan batin yang tengah dilakukan Kalipso terpecah begitu saja karena interupsi dari si laki-laki. Gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum sadar kalau Kafka memandangnya begitu intens.
"Kenapa?" sahutnya kemudian setelah terdiam cukup lama.
"Remember about the moon?"
Tak menyangka dengan apa yang Kafka ucapkan, detak jantung Kalipso kontan berdetak terlalu cepat hingga nyeri rasanya.
Banyak tahu kemana pembicaraan ini akan mengarah namun ia tak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Gadis itu mengangguk sekali, menatap Kafka datar dengan binar lugu yang tertera di netra legamnya.
"I know you understand what I'm talking about," papar Kafka. "Sekarang gak ada bulan sih but do you mind if I want to know your opinion about the moon?"
Tak langsung menjawab. Kalipso tanpa sadar menggigit kuku ibu jarinya. Terlihat tenang namun pikirannya sangat berantakan saat ini. Kendati begitu, ia tak melupakan hal yang ingin ia utarakan sedari tadi.
"Are you sure about me?"
Si laki-laki sedikit memiringkan kepalanya, bingung, walau kemudian mengangguk. "Do you see any hesitation in me?"
"Lo yakin bukan karena hal lain?"
Dahi Kafka perlahan mengerut. "Hal lain kayak apa?"
"Saras, misalnya."
Terlihat jelas ekspresi pemuda itu yang perlahan menurun seiring dengan punggungnya yang disandarkan pada sandaran kursi. Matanya menatap Kalipso datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Try Again
Fanfiction"Kita ini sebenernya apa?" Mungkin harusnya Kalipso tanyakan itu pada Elio setidaknya sehari sekali buat cari validasi tentang hubungan mereka yang tak tahu harus dilabeli sebagai apa. Karena pengakuan kurang ajar Elio baru terdengar waktu dirinya s...