"Nama lo ngingetin gue sama Franz Kafka deh."
Senyuman terbit di sela kegiatannya membidik objek dengan kamera. Suara yang muncul sesaat setelah tombol shutter ditekan jadi jeda sebelum Kafka memberi respon.
"Franz Kafka penulis kesukaan Papa."
Masuk akal.
Gadis di sebelahnya cuma mengangguk. Merebahkan kepala di atas kedua lututnya yang ditekuk, memutuskan untuk menaruh atensi pada pemuda yang kini kembali memotret.
Waktu Kafka menjemputnya sepulang sekolah tadi, Kalipso pikir rutinitas mereka akan sama seperti biasanya–mengisi amunisi di restoran bintang 5 kemudian berkendara tanpa tujuan sampai malam tiba.
Destinasi yang dipilih kali ini sedikit berbeda ketika si gadis sadar mobil Kafka bawanya menjauh dari hiruk pikuk kota. Bersamaan dengan jalan yang melandai juga sunroof mobil yang dibiarkan terbuka, Kalipso bisa hirup aroma asin bahkan dari kejauhan.
Mengunjungi pantai pada pukul 4 sore sama sekali tak pernah masuk agenda namun ternyata tak buruk juga. Duduk beralaskan pasir pantai pun perhatikan matahari yang perlahan turun ke peraduan.
Seperti sengaja memberi ruang untuk mereka berdua, tak ada lagi manusia lain yang memijakkan kaki di pesisir itu. Deburan ombak jadi yang paling berisik diantara kesunyian yang melingkupi.
Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan namun Kalipso memilih waktunya yang berjalan dihabiskan untuk cermati segala pergerakan laki-laki di sebelahnya–duduk sambil memeluk lutut.
Entah hanya dirinya yang merasa demikian atau orang lain pun berpendapat sama, yang jelas: berada di sekitar Kafka benar-benar beri ketenangan.
Mungkin seperti bulan yang muncul tanpa gemintang atau awan yang buat sejuk di tengah panas mencekik. Entahlah, rasanya lebih kompleks daripada itu.
Kalipso jadi tersenyum.
Laki-laki yang merasa diperhatikan kontan menoleh. Tawanya menguar kala tangkap Kalipso yang langsung mengalihkan pandangan saat mata keduanya bertemu. Buat gadis itu berdeham kikuk.
"Lo tau istilah Kafkaesque?"
"Uhm." Kafka bergumam dengan suara rendah. "Tapi gue gak pernah paham artinya."
Kamera di tangan Kafka kini diarahkan pada Kalipso di sampingnya.
Mata gadis itu semula tengah memerhatikan garis yang dibuat jemarinya di atas pasir. Ketika namanya dipanggil, ia spontan menatap lurus pada kamera. Bertepatan dengan Kafka yang menjepret–menangkap potret si gadis sempurna.
Objek fotonya menyunggingkan senyum, menunggu Kafka yang meneliti hasil potretannya di layar kamera.
"Cantik," ujarnya sambil menyodorkan layar kamera pada Kalipso.
"Gue baru tau lo suka fotografi."
"Gak begitu suka," sahut Kafka. "I'm just afraid not making enough of memories."
Alis Kalipso terangkat. "Tapi kan otak lo bakal rekam semuanya?"
Kafka tersenyum. Matanya dipusatkan penuh pada Kalipso yang masih merebahkan kepala di atas lutut.
"Seiring waktu mereka bakal ilang," jawab Kafka. "Kalau gue foto, semuanya bakal terekam jelas. I hate it kalau ingatan tentang seseorang yang gue sayang mulai samar-samar."
Gadis di sebelahnya mengulum bibir.
"Katanya setelah 7 tahun meninggalnya seseorang, kita bakal mulai lupa sama suaranya." Kafka menghela napas. "Waktu bangun tidur kemarin pagi, gue sadar kalau suara Mama mulai ilang dari ingatan gue .... and that's the most heartbreaking part of lost her."
KAMU SEDANG MEMBACA
Try Again
Fanfiction"Kita ini sebenernya apa?" Mungkin harusnya Kalipso tanyakan itu pada Elio setidaknya sehari sekali buat cari validasi tentang hubungan mereka yang tak tahu harus dilabeli sebagai apa. Karena pengakuan kurang ajar Elio baru terdengar waktu dirinya s...