41;

13 4 0
                                    

Sorak sorai penonton yang memenuhi tribun benar-benar memekakkan telinga namun memang itu tujuannya. Dari semua angkatan, murid kelas 12 tampaknya jadi yang paling banyak beri suara. Tak peduli kalau setelah ini suara mereka serak akibat terlalu banyak bersorak.

Sadar akan fakta kalau ini adalah pertandingan terakhir yang bisa mereka saksikan sebelum memasuki minggu-minggu intensif dan bertarung mati-matian untuk ambil kursi di universitas ternama.

Kartika Santi punya tim basket yang apik, ditambah antusias melejit yang diberikan bahkan sejak putaran pertama mampu ciptakan euforia yang lain dari biasanya. Abai soal bagaimana hasil yang akan didapat, mereka cuma tahu bersenang-senang.

"Perasaan gue baru ngedip sekali tiba-tiba udah mau SNBT aja."

Di deretan kursi tribun paling atas yang sepi peminat, dua insan itu duduk tenang. Hanya mengamati teman-teman kelasnya yang berjingkrak heboh alih-alih ikut ambil bagian.

"Lo udah tau mau lanjut kemana?"

Pertanyaan Setya dapat tatapan horor dari Kalipso, gadis itu bergidik. "Pertanyaan lo rasanya kayak tetangga nanya kapan nikah."

"Emang lo pernah ditanya kapan nikah sama tetangga?"

Jawabannya sudah jelas jadi Kalipso tak ingin beri respon. Hembusan napas panjang terdengar seiring punggungnya yang dibawa rebah pada sandaran kursi, berlagak seolah ia baru saja melakukan hal paling melelahkan.

Namun gadis itu tak hiperbola. Tidurnya terusik beberapa malam terakhir karena memikirkan apa kiranya yang akan ia lakukan setelah lulus nanti. Kalipso sadar betul dirinya tak pandai ambil keputusan walau kali ini keputusan penuh ada di tangannya.

"Gue sebenernya pengen ambil seni cuma gak yakin," ujar Kalipso. "I'm not that good terus gak ngejamin juga, kan?"

"Selama lo punya passion disitu dan orang tua lo gak ngelarang, there's nothing to worry about."

"Iya sih," cicit Kalipso. "Lo sendiri gimana?"

Tak langsung menjawab, pemuda yang ditanya terdiam sesaat. Seringai tipis muncul kemudian terkekeh geli, buat Kalipso yang melihat jadi mengernyit bingung.

"Rencana gue cuma mau berdedikasi buat figure skating jadi ya kuliah itu urusan ke sekian walau jujur gue juga pengen punya gelar pendidikan," sahut Setya masih sambil terkekeh. "Dan kalau orang-orang nanya, gue selalu jawab mau ambil teknik kimia di MIT padahal gue gak ada bakat di sains sama sekali."

"Massachusetts?" Pertanyaannya dapat anggukan sebagai jawaban. "Kenapa?"

Setya menoleh pada Kalipso yang menaruh perhatian penuh, seolah dirinya hendak menceritakan dongeng yang luar biasa menarik.

"Elio bilang mau lanjut kesana."

Pukulan drum tepat setelah Setya tuntaskan kalimat sukses buat Kalipso tersentak kecil. Kerumunan yang semakin berisik jadi indikasi kalau tim Kartika Santi berhasil tembakan poin namun si gadis tak peduli banyak.

Rentetan kata yang terucap dari lisan Setya tentu lebih tarik minatnya.

"Lo tipikal orang yang ikut-ikutan temen, ya?" ejek Kalipso dan yang laki-laki hanya mengangkat bahu, membenarkan. "Sekarang masih punya niatan lanjut kesana?"

"Apa gak plontos kepala gue kalau maksain kesana?"

Label genius yang dimiliki mungkin jadi salah satu penyebab disamping pribadi Elio sendiri yang penuh ambisi. Otak cemerlangnya jelas bisa bawa si empunya kemana saja tanpa kesulitan yang berarti.

Jika di masa depan Elio Gideon terkenal sebagai ilmuwan akbar yang reputasinya tak usah diragukan, Kalipso anggap itu sebagai kewajaran.

Jika saja ....

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang