19;

24 3 0
                                    

Langkahnya ringan menyusuri koridor menuju ruang musik.

Di jam istirahat kedua, harusnya Kalipso berada di kafetaria bersama Jen atau tidur di ruang perpustakaan lantai 3. Tapi pesan yang masuk ke ponselnya di tengah pelajaran bahasa Inggris buat rutinitas biasanya jadi sedikit berubah.

Selain itu, benak si gadis juga tak bisa lagi fokus pada apapun yang terjadi di kelas. Sibuk memikirkan alasan kenapa Elio menyuruhnya datang ke ruang musik.

Tebakannya jadi bervariasi, mulai dari yang realistis hingga kelewat percaya diri–seperti kemungkinan Elio akan menyatakan perasaan padanya–walau sesaat kemudian langsung tersadar sambil tersenyum gila.

Lorong dari gedung IPS menuju ruang musik di bagian barat gedung utama tak banyak dilalui orang. Buat Kalipso tak perlu menyelinap di antara lalu lalang siswa seperti biasanya.

Lagipula di bagian barat gedung utama hanya berjajar ruang-ruang ekskul dan gudang olahraga. Rasanya tak ada yang berminat datang kesini jika tak punya keperluan mendesak. Pun area itu bukan tempat yang strategis untuk membolos.

Kalipso menghentikan langkah persis beberapa meter di depan pintu. Menetralkan rasa gugup yang tak perlu kemudian mengintip dari jendela.

Seperti tak ada kehidupan di ruangan luas itu–kosong. Hanya alat-alat musik yang tersimpan rapi juga kursi-kursi yang berada tak sesuai di posisi seharusnya. Mata si gadis terus memindai seluruh ruangan hingga akhirnya temukan seseorang yang berdiri di samping piano. Senyumnya refleks mengembang.

Untuk beberapa saat, Kalipso hanya memperhatikan punggung Elio yang bergeming sampai akhirnya ia sadar kalau ruang musik kini tak dihuni oleh satu orang saja, ada orang lain disana, seorang gadis.

Orang lain itu tengah duduk di kursi depan piano sembari mendongak pada Elio yang berdiri menjulang di sampingnya, tersenyum lebar.

Kedua anak adam itu tampak sedang bergurau. Terlihat dari Elio yang menundukkan kepala juga bahunya yang naik turun karena tertawa.

Mengenyahkan perasaan anehnya, Kalipso berdeham sekali. Mengontrol ekspresi wajah sebelum akhirnya membuka pintu ruang musik perlahan.

Entah kenapa, gadis itu malah membuat catatan mental agar tak menimbulkan suara sama sekali. Ia menahan napas seiring dengan kakinya yang berjinjit, mengendap-endap masuk.

Pergerakan yang senyap itu juga buat kedua insan tadi tak menyadari kehadiran Kalipso, masih sibuk berbincang dengan satu sama lain.

Kaki Kalipso semakin melangkah ke dalam. Menuju piano yang posisinya sedikit tersembunyi di belakang–tertutup oleh jajaran angklung yang tergantung. Wajahnya jadi datar kala dua orang tadi terpampang nyata di depannya, kemudian mengatur ekspresi agar tak terlihat menyebalkan.

Baru saja membuka mulut, berniat angkat suara namun Kalipso lebih dulu terkelu. Sedetik kemudian bahunya menurun dengan mata yang membelalak, menatap objek di depannya.

Penyebabnya adalah Elio yang tiba-tiba merendahkan wajah. Dengan ringan mengecup pipi gadis tadi yang juga membuat si gadis terpaku di tempat–menatap Elio yang malah tertawa jail.

Sebenarnya apa yang sedang hidup berusaha tunjukkan pada Kalipso?

Gadis itu merasa dipermainkan. Setelah beberapa hari lalu Elio dengan kurang ajar mencuri ciuman pertamanya, hari ini malah lihat pemuda itu mendaratkan kecupan di pipi gadis lain.

Barangkali dirinya juga bukan jadi orang pertama tempat Elio mendaratkan ciuman. Ia jadi tersenyum kecut. Segala hal yang pernah Jen katakan tentang pemuda itu rasanya jadi tergambar jelas.

Benar .... harusnya Kalipso lebih percaya pada sahabatnya.

Mata terkejutnya bersitatap dengan mata gadis tadi. Keduanya jadi terdiam. Raut wajah Kalipso yang tak terbaca buat si gadis menciut, khawatir hal buruk menimpanya setelah ini.

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang