Kalipso memandang nahas chicken nugget di hadapan Jen yang bentuknya sudah tak utuh, tercerai berai. Pasalnya si pemilik makanan menyalurkan emosinya dengan menusuk-nusuk olahan ayam itu dengan garpu secara brutal.
Bahkan kini wajahnya merengut sambil menyesap jus jambu.
"Tua bangsat," umpat Jen. "Mati aja sekalian."
"Heh mulutnya!"
Mata Kalipso membelalak sempurna. Bukan pertama kalinya ia mendengar Jen menyumpahi orang lain seperti itu, namun tetap saja ia terkejut. Tangannya refleks menepuk tangan Jen.
"Gak boleh ngomong gitu," peringatnya lagi.
Yang dapat peringatan hanya mendegus sembari memutar bola mata. "Peduli amat. Lo emang gak kesel? Kalipso please, gak semua manusia deserve hirup udara bumi. Manusia-manusia cabul kayak gitu lebih pantes ngeringkuk di neraka."
Kali ini Kalipso mengulum bibir–merasa dimarahi. Jemarinya memainkan muffin cokelat yang punya bekas satu gigitan di bagian atas.
"Mungkin dia khilaf," cicit Kalipso. "Lo gak seharusnya sampe nyumpahin dia mati. Haven't you thought about how hard it is for his mom to give birth?"
"Kalau dia ngelakuin hal yang lebih dari ini, lo masih bakal belain dia? Masih mau maafin? Masih sempat-sempetnya mikirin how precious his life is? Jangan terlalu naif, Kal. Dunia gak sebaik yang lo pikirin."
Kafetaria lantai dua tak terlalu ramai–karena memang belum jam istirahat. Hanya ada beberapa orang yang duduk di sudut-sudut ruangan, seperti sengaja menepi.
Pelajaran sejarah hari ini sedang kosong. Kalipso merengek lapar dan menarik paksa Jen untuk menemaninya beli muffin. Berakhir dengan dua gadis itu berakhir disini.
Tampaknya obrolan mereka bisa terdengar oleh seisi kafetaria. Terlihat dari beberapa murid yang melirik setelah Jen sedikit menaikkan intonasinya. Gadis itu juga tak sadar berbicara dengan sedikit membentak.
Melihat Kalipso menunduk dengan bibir yang tertekuk ke bawah buatnya jadi merasa bersalah. Ia berdeham. "Sorry, i didn't mean that."
Kalipso hanya mengangguk kecil. Masih belum beralih dari posisinya tadi. Jen jadi makin merasa bersalah.
Memang cara bicaranya kelewatan, ya?
"Gak mau lanjutin ceritanya?" tanya Jen sambil mengaduk jusnya menggunakan sedotan, berusaha memancing. "Gue mau tau lanjutannya."
Perlahan kepala Kalipso naik. Menyatukan matanya dengan mata Jen yang menatapnya lurus. Gadis itu menopang pipi menggunakan tangan.
"Untungnya ada yang nolongin gue," lanjut Kalipso. Kembali menggigit muffin. Pipinya mengembung saat ia mengunyah. "Dia ngehalangin si bapak itu biar gak deket-deket."
Jen diam-diam menghela napas lega.
Kalipso itu bukan tipikal orang yang mudah marah atau tersinggung karena hal kecil–omelan tadi termasuk hal kecil karena Jen sering mengomel pada Kalipso. Tapi lihat gadis itu menciut karena diomeli, Jen tak tega juga.
"Inget gak murid FHS yang gue ceritain waktu itu? Yang minjemin buku di perpustakaan," tanya Kalipso. "Dia yang nolongin gue."
"Oh ....?"
Walau terdengar tak acuh, Jen sebenarnya gugup luar biasa. Telapak tangannya tiba-tiba berkeringat seiring jantungnya yang berdetak kuat. Memohon dugaannya tak benar sama sekali.
Kalipso mengangguk semangat sambil kembali menggigit muffin-nya. "Dia nemenin gue, beliin permen coklat sama minum juga. Terus dia baik banget."
"Kenapa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Try Again
Fanfic"Kita ini sebenernya apa?" Mungkin harusnya Kalipso tanyakan itu pada Elio setidaknya sehari sekali buat cari validasi tentang hubungan mereka yang tak tahu harus dilabeli sebagai apa. Karena pengakuan kurang ajar Elio baru terdengar waktu dirinya s...