32;

38 5 0
                                    

Hampir seumur hidupnya Jen tak pernah mau punya hubungan intens dengan manusia lain, karena menurutnya: manusia itu merepotkan. Gadis itu pikir, keberadaan Kafka cukup untuk penuhi syarat dirinya sebagai makhluk sosial.

Bukan karena tak ingin, tapi orang-orang cenderung lebih dulu menyingkir. Banyak yang bilang Jen itu egois dan kasar. Meski tak bermaksud demikian, tabiatnya yang blak-blakan terkadang melukai tanpa sadar.

Lagipula, Jen punya prinsip hidup sederhana kalau menyangkut hubungannya dengan manusia lain. Ia tak pernah mau repot-repot cari atensi andaikata suatu hal sebabkan orang lain jauhi dirinya.

Waktu sadar dirinya terikat hubungan dengan Kalipso, Jen masih beranggapan pertemanannya tak akan bertahan lebih dari satu bulan.

Manusia mana yang sanggup dengan sikap Jen yang menyebalkan?

Walau nyatanya Kalipso jadi orang pertama yang selalu rangkul Jen di segala situasi. Mengherankan juga karena gadis itu seolah tak pernah jera dengan Jen yang suka mencemooh–atau mungkin memang sengaja ditahan.

Kehadiran Kalipso dalam hidupnya sejak beberapa tahun terakhir buat gadis itu sadar kalau segalanya terasa lebih mudah kalau ada seseorang yang bersedia jadi pegangan.

Mungkin hal itu juga yang buat prinsip hidup Jen soal hubungannya dengan manusia lain terasa sedikit rumit.

Tak pernah terpikir dalam benak gadis itu untuk mangkir dari sekolah hanya untuk bertandang ke rumah nomor 14. Pasalnya terhitung sudah lima hari sejak tak saling sapa dan kini sudah tiga hari Kalipso sama sekali tak bisa dihubungi.

Kalau perdebatan tempo hari lalu tak pernah terjadi, Jen tak akan kelewat khawatir seperti ini. Tidak perlu menerka pun gadis itu sadar dirinya jadi alasan terbesar Kalipso urung tunjukkan batang hidung di sekolah.

Dan ia perlu memastikan.

Dalam balutan seragam lengkap, Jen mengetukkan kakinya pelan usai menekan bel. Menunggu dengan sabar di depan gerbang rumah itu namun tak kunjung ada yang datang.

Ketika jarinya terangkat, hendak menekan bel lagi, seseorang terlihat mendekat dari sela-sela gerbang. Buat si gadis langsung menegakkan tubuh sempurna karena sadar yang datang bukanlah orang yang ingin ia temui.

"Loh, Jennifer?"

Sapaan penuh keterkejutan jadi hal pertama yang rasuki rungu Jen. Tersenyum kecil kala wanita itu sedikit membuka gerbang, memberi akses lebih agar dirinya bisa leluasa berbincang dengan si gadis.

"Kamu gak ke sekolah?"

Ersa masih terkejut lihat sahabat putrinya muncul di depan rumah. Terlebih sekarang mestinya sudah masuk jam pembelajaran.

"Ke sekolah kok," sahut Jen tenang. "Tapi tadi bangku Kalipso kosong, jadi aku mampir dulu kesini."

"Astaga, Jen. Kan bisa dateng kesini pas pulang sekolah?"

Masih dengan senyuman manis, gadis itu menggeleng. "Gak bisa, Tante. Aku gak bakal bisa fokus kalau belum tau kabar Kalipso."

Intonasinya datar seperti biasa tapi siapapun bisa rasakan kesungguhan dalam kalimat itu.

Mungkin jika di situasi waras, bisa dipastikan Jen akan benci mendapati dirinya melakukan hal tak penting seperti ini buat manusia yang katanya merepotkan.

"Memang Kalipso gak ngasih tau kamu?" Wanita yang lebih tua tak mendapat jawaban. Hanya diberi kerutan dahi sebagai isyarat bertanya tanpa kata. "Dia sakit."

"Sakit?" tanya Jen memastikan. "Sakit apa? Sejak kapan?"

Entah kenapa gelagat Ersa terlihat sedikit tak nyaman. Wanita itu berdeham sambil mengusap ujung hidungnya. "Demam," sahutnya. "Udah 3 hari ini."

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang