24;

30 2 0
                                    

Meja makan pagi ini sedikit berbeda dari biasanya.

Presensi seluruh anggota keluarga tak ada yang absen, sudah lengkap duduk di kursi masing-masing sejak 15 menit lalu. Hanya saja kursi di sebelah Mada kosong hari ini. Si "pemilik tak mutlak" memilih duduk di kursi ujung meja, dekat sang ibu.

Mungkin ayah dan ibunya tak menyadari Kalipso duduk di kursi yang berbeda, namun Mada sadar betul kakaknya itu sengaja buat jarak dengan dirinya.

Pertengkaran mereka tempo hari agaknya benar-benar melewati batas toleransi yang lebih tua. Kalau biasanya Kalipso akan kembali bertegur sapa bahkan sebelum genap sehari mereka bertengkar, kali ini sudah nyaris dua hari dan kakaknya belum juga sudi beri suara.

Ruang makan terasa lenggang kendati percakapan ayah dan ibunya tentang laga F1 kemarin malam jadi satu-satunya yang menghidupkan suasana. Sisanya cuma dentingan sendok besi yang beradu dengan wadah makan berbahan keramik.

Untuk ukuran seseorang yang ceria luar biasa, harusnya eksistensi Kalipso yang tak beri kontribusi percakapan pagi ini jadi hal yang paling mencolok.

Tawa si sulung yang menguar karena lelucon murahan ayahnya, seringai jail si sulung setelah berhasil menggodanya, atau si sulung yang tak mau kalah berdebat dengan Mada tentang siapa yang harus jemput bunda di butik sore nanti. Dan hari ini semua itu tak ada.

Cuma karena Kalipso banyak diam, efeknya jadi sebesar ini buat suasana meja makan–setidaknya bagi Mada.

Beberapa kali pemuda itu mencuri pandang dan yang ia temukan hanya Kalipso yang menunduk, sibuk habiskan oat (it) di mangkuknya dalam diam. Raut berbinar yang biasa muncul tiap kali ada pembicaraan kini tak ditemukan disana.

Mada sama sekali tak menyesali sikapnya hari itu. Dia hanya menyayangkan kalimatnya yang kelewatan. Setelah 16 tahun hidup dan itu pertama kalinya ia merendahkan anggota keluarganya sendiri.

"Kamu kenapa, Kak?"

Pertanyaan sang Bunda otomatis tarik seluruh atensi manusia yang ada disana. Objek yang jadi pusat perhatian kontan mendongak, meneliti mata yang memerhatikannya secara bergantian. Tapi si bungsu yang duduk jauh darinya tak ia lirik sama sekali.

"Aku?" tanya Kalipso memastikan. "Gak papa, kok. Emangnya kenapa?"

Mendapat kesempatan untuk bertanya buat Gibran juga angkat suara. Kepala keluarga itu sadar putrinya tak banyak bicara namun ia tak ingin menyinggung lebih dulu.

"Beberapa hari ini ayah perhatiin kamu lebih sering di kamar. Lagi ada kesibukan?"

Si gadis menggeleng. "Aku cuma sibuk baca buku, Yah."

Kepala Kalipso merunduk ke bawah setelah rasakan bulu lembut menempel pada kakinya. Senyumnya mengembang kala lihat Lubis yang mengeong dengan pupil mata yang bulat sempurna. Langsung membawa hewan berbulu itu ke dalam gendongan.

"Beneran gak apa-apa?" tanya Ersa lagi memastikan. Wanita itu tahu betul putrinya berbohong karena Kalipso tak pernah pandai menyembunyikan kebohongan dari air mukanya. "Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke kami."

Kalipso hanya mengangguk. Sarapannya yang sisa sedikit jadi terabaikan, kini sibuk elus Lubis yang mendengkur di pangkuannya.

Perhatian sang kepala keluarga teralih pada putra bungsunya. "Kamu sendiri kenapa?"

Mendadak jadi pusat perhatian buat Mada jadi kikuk. Kegiatan mengunyahnya jadi melambat. Mengedarkan pandangan pada setiap mata yang menatap, tak terkecuali Kalipso walau gadis itu tampak sangat abai.

"Kenapa apanya?" Mada tak paham karena Gibran tiba-tiba menodongnya. "Aku lagi makan."

Alis pria yang lebih tua menekuk asertif, merasakan sesuatu yang aneh. "Kalian berdua anteng banget. Sakit gigi?"

Try Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang