Masih di rumah sakit, suasana duka menyelimuti mereka semua setelah Tania dan Gus imam di nyatakan meninggal.
Zaki. Laki-laki itu dengan tatapan kosong terduduk di lantai dan bersandar di tembok. Rasanya ingin sekali ia bangun dari mimpi buruk ini.
"Bang, jangan kayak gini, Bang, Allah lebih sayang sama mereka berdua." Gus Hafiz menghampirinya dan menepuk pundaknya.
"Kenapa takdir Allah kayak gini, Fiz? Nanti gimana nasib Aziel sama Ziela? Bagaimana pun mereka butuh orang tuanya."
Hati Gus Hafiz begitu sakit mengingat keponakannya yang baru saja lahir.
"Abang nggak mau lihat Aziel sama Ziela? Tadi Hafiz udah lihat."
"Tadi Abang udah adzani mereka, tapi tolong sekarang temenin Abang buat lihat mereka, Fiz." Lalu Gus Hafiz menuntun Zaki berjalan menuju ruangan bayi.
Sesampainya disana, kedua lelaki itu hanya bisa menatap anak kembar itu dari kejauhan. Dan air mata Zaki turun kembali.
"Allah...kenapa kau berikan cobaan seberat ini kepada dua malaikat yang baru saja lahir, bahkan mereka saja belum melihat wajah orang tuanya." Zaki berlirih.
"Aziel mirip banget sama Tania ya, Bang, kalo Ziela mirip sama Abinya." Gus Hafiz pun menatap mereka dengan tatapan kosong.
"Ternyata kalian disini?" Suara seseorang dari belakang membuat pandangan mereka berdua beralih.
"Papa, Abah."
"Abang, tolong hubungi pihak pesantren untuk mengurus pemakaman Imam sama Tania, jenazah mereka akan segera di bawa pulang ke pesantren untuk di kebumikan." Papa berucap dengan begitu lemah.
"Ya Allah ini mimpi, kan?"
👻👻👻
Setelah kabar kematian Gus imam dan Tania sampai ke telinga penduduk pesantren, mereka begitu amat terpukul dan berduka telah kehilangan Gus serta sosok Ning yang selalu membuat mereka tertawa karena ulahnya.
Terutama teman-teman Tania. Bahkan Nafisah langsung pingsan karena tak percaya dengan kabar ini.
"Lebih baik kita makamkan mereka sekarang saja, tidak baik menunda," kata Abah dengan sangat berat hati.
Abah, Gus Hafiz, Buya, dan Raka menggotong keranda Gus imam. Sedangkan Papa Faris, Zaki, Irfan dan Ervin menggotong keranda Tania.
"Laailaahaillallah."
"Laailahaillallah."
"Laailahailallah."
Suara gemuruh kalimat tahlil serta tangisan mengiringi perjalanan sepasang kekasih itu menuju peristirahatan terakhir.
"Siapapun tolong bangunin gue, ini mimpi, kan?" Lirih Nafisah dengan menangis.
"Ikhlasin, ya, Allah lebih sayang sama mereka berdua." Nisa mengelus pundak Nafisah.
Setibanya di pemakaman, Papa dan Abah turun untuk mengadzani anak mereka di iringi dengan tangisan yang begitu menusuk hati.
"Tuan putrinya Papa...dulu pas Nia lahir, Papa dengan bahagia mengadzani Nia, sekarang untuk kedua kalinya dan terakhir kalianya Papa mengadzani Nia lagi dan menidurkan Nia, Papa ikhlas Nak, ikhlas...surga menantimu tuan putri." Papa Faris berlirih sambil mengadzani putri kesayangannya.
Begitu juga Abah, dengan tangan bergetar berusaha mengadzani putranya.
"Jagoannya Abah, kenapa begitu cepat? baru kemarin Abah mengajarimu berjalan, tapi kenapa sekarang kamu berlari sangat jauh, selamat jalan putraku..."
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR YANG TAK TERDUGA [TERBIT]
RandomMengisahkan seorang gadis bar bar dan pecicilan yang jatuh cinta dengan seorang anak kyai yang kelakuannya sangat bertolak belakang denganya. Tapi setiap hari gadis ini hanya mendapatkan penolakan, hingga akhirnya sadar dan memilih untuk mengejar ci...